Rabu, 09/08/2006 09:23 WIB
Jelang HUT ke-61 RI
Makam Amir Syarifuddin, Tanpa Nisan Tanpa Penghormatan
Karanganyar
Pemakaman Umum Ngaliyan, Lalung, sekitar 5 Km di selatan Kota
Karanganyar tak ubahnya seperti makam-makam desa lainnya. Sebatang pohon
Kamboja tumbuh di tengah jejeran nisan-nisan, berdiri tegak lurus
dengan sebatang pohon Asam yang rimbun. Sekeliling pemakaman dipagari
tembok setinggi 1,5 meter.
Tapi sesungguhnya, ada yang membuatnya berbeda. Setitik nilai historis
yang terlupakan pada sepetak tanah berukuran sekitar 2 x 8 meter yang
ada di tengah pemakaman. Letaknya di dekat pintu gerbang yang terbuat
dari besi bercat hijau. Gundukan itu tak bernisan. Tak ada penanda apa
pun. Di atasnya, tumbuh sejumput tipis rerumputan kering diselingi
beberapa tangkai ilalang.
Sekitar satu setengah meter di bawah gundukan tersebut, terbujur jasad
Amir Syarifuddin.
Ia adalah salah satu dari tokoh empat serangkai
Soekarno-Mohammad Hatta-Sutan Sjahrir-Amir Syarifuddin yang memimpin
republik ini pada zaman revolusi mempertahankan kemerdekaan.
Amir tidak sendirian, bersamanya, dalam satu lubang yang sama, terbujur
10 rekannya. Ya, akibat petualangan politiknya bersama Partai Komunis
Indonesia (PKI), tengah malam di hari 19 Desember 1948, mereka
dieksekusi bersama-sama oleh polisi militer, anak buah Kolonel Gatot
Subroto di lokasi tersebut.
Eksekusi itu sendiri tanpa melalui pengadilan militer dan lebih dipicu
sebagai kepanikan menyusul Agresi Militer II Belanda atas Kota
Yogyakarta pada pagi harinya. Sebab, pada Agresi Militer I, 21 Juli
1947, para tahanan republik di LP Wirogunan memanfaatkannya untuk kabur
tanpa sempat diadili.
Sejarah memang mencatat kelam nama Amir. Perannya sebagai pelaku Sumpah
Pemuda (Jong Batak) 1928 dan pejuang anti-Jepang, hingga nyaris dihukum
mati, jarang diungkit-ungkit. Apalagi kabar dari salah satu versi, bahwa
dialah sebenarnya calon proklamator utama NKRI, sebelum akhirnya
pilihan pemuda-pemuda revolusioner jatuh pada Soekarno-Hatta. Tak pernah
tergali!
Yang muncul dalam lembar sejarah adalah hujatan atas kegagalannya
sebagai perdana menteri dengan meneken Perjanjian Renville (1948).
Dan
yang paling fatal adalah kiprahnya sebagai tokoh PKI pendukung negara
Sovyet Republik Indonesia bentukan Musso di Madiun 1948 yang sekaligus
anti-Perjanjian Renville. Sungguh, citra sempurna untuk orang yang dicap
pengkhianat bangsa.
Coreng itulah yang menjadikan Amir menjadi stigma hitam bahkan hingga
saat tubuhnya menyatu dengan bumi. Sebetulnya, ketika masa traumatik
terhadap PKI berakhir, sekitar tahun 1951 sudah ada upaya untuk mengurus
jasad Amir cs dengan layak.
Saat itu, dilakukan upaya penggalian kembali. Jasad 11 orang yang
bertumpuk-tumpuk, dirapikan. Masing-masing diidentifikasi dan dimakamkan
secara layak meski tetap dalam lubang yang sama.
Pada makam, bahkan
sudah dilakukan pengecoran dan pemberian nama 11 nisan sesuai dengan
urutannya.
"Saat itu, makam bersih dan rapi. Bahkan ada juru kuncinya, yakni Pak
Mangun," ujar Warsiman, penduduk di sekitar makam. Sanak saudara
Warsiman, adalah salah satu penduduk yang diminta aparat untuk menggali
lubang kubur Amir cs pad atahun 1948.
Warsiman yang sekitar tahun 1964, menginjak usia SD, bahkan masih ingat,
bila akhir pekan, makam Amir Cs laksana pasar. "Banyak yang berziarah
sampai dipenuhi penjual makanan. Saya dulu malah sering dikasih permen
oleh para penziarah," kata dia.
Namun seiring dengan Peristiwa 30 September 1965 yang kembali melibatkan
tokoh-tokoh PKI, keriuhan itu bubar. Suatu hari, di tahun 1965, tanpa
alasan yang jelas, sekelompok orang tak dikenal datang merusak makam
Amir Cs dan mencabuti papan nisan mereka.
Sejak itu, makam Amir cs menjadi tak terawat. Tak ada penduduk yang
berani untuk sekadar membersihkannya. Mereka takut dicap pro PKI yang
menjadi stigma kental era Orde Baru. Waktu akhirnya memangsa reruntuhan
makam disaput tanah dan rerumputan. Hanya kambing-kambing kampung yang
setia merawat, menyiangi agar rumput tak bertambah tinggi.
Padahal niatan untuk sekadar memuliakan orang yang telah meninggal
pernah ada. Dulu ada usulan dari kampung agar di sekitar makam Amir cs
didirikan cungkup. Ya, sekadar untuk tempat berteduh-lah, bagi peziarah
makam yang kepanasan. Tapi usul ini kandas di tangan pemerintah lokal.
"Akhirnya sampai sekarang begini keadaannya. Tidak ada yang ngopeni. Bahkan anak-anak zaman sekarang banyak yang tak tahu, itu makam bekas pembesar." Warsiman benar, faktanya, detikcom
menjumpai sangat sedikit penduduk Karanganyar yang tahu soal sejarah
makam Amir Syarifuddin.
Sungguh pun begitu, bukan berarti tak ada peziarah makam Amir. Penduduk
sekitar mengaku sesekali melihat orang-orang asing, menyambangi makam
Amir cs. Umumnya mengendarai mobil bernomor polisi Jakarta.
"Mereka nyekar
sambil menangis-nangis di depan makam. Mereka sudah tahu makam itu,
meskipun tidak ada nisannya. Mungkin keluarganya," ujar Warsiman.
Begitulah, bangsa ini boleh menafikannya. Namun bagi beberapa orang,
sepetak tanah berukuran 2 x 8 meter tersebut masih memiliki arti. Banyak
yang menilai, apa yang terjadi di tahun 1948 tak lebih dari perbedaan
pandangan perjuangan yang dipicu oleh kerusuhan yang terjadi di Solo,
sebelumnya.
Menurut cerita, sesaat sebelum dieksekusi di depan liang lahatnya, Amir
Cs meminta izin kepada letnan CPM komandan regu tembak untuk menyanyikan
2 buah lagu. Yang pertama adalah lagu komunis, Internasionale, dan
kedua adalah Indonesia Raya.
Permintaan itu dikabulkan. Tengah malam, sekitar pukul 23.30 WIB, kedua
lagu dinyanyikan ke-11 orang hingga membumbung ke udara. Setelah itu
dor! Amir yang pertama. Dengan mengantungi Kitab Injil di sakunya, ia
mendapat giliran pertama dieksekusi. Jiwanya yang berganti melayang ke
angkasa.
Kata orang, bangsa yang besar adalah yang menghargai pahlawannya. Amir
mungkin bukan pahlawan yang patut dikenal, sebaliknya ia mungkin dicap
sebagai Brutus. Tapi sebagai anak manusia, semestinya jasadnya patut
dimuliakan. Seperti kata Warsiman, bukankah lagu kebangsaan kita masih
sama? Indonesia Raya! Tak ada tanda bahwa Amir dulu pernah memimpin Indonesia.
(asy/)
Comments
Post a Comment