Selamat hari Ibu-ibu Batak

Sosok Ibu (versi bahasa Indonesia) di rumah kami adalah Ibuku sendiri, namanya Diana R Simorangkir. Seorang anak perempuan ke 3 dari 3 bersaudara dengan kemanjaannya yang melebihi apa yang kamu pikirkan dan semua kami sayang Ibu. Kejenakaannya di meja makan sering membuat kita harus menunggunya menyelesaikan masakan dapur yang enaknya luar biasa dengan resiko jam memasak lebih banyak. Ibu sudah yatim piatu dan kerinduannya pada orang tuanya suka menjadi bahan candaan Ayahku kepadanya, mungkin karena bagian dari patriarki adat batak meletakkan marga laki-laki menjadi acuan marga turunannya. Di rumah kami ada 8 orang dengan hitungan 7 punya marga Simanjuntak dan hanya Ibu yang bermarga berbeda yakni boru Simorangkir, serasa bisa menjadi guyonan dikala Ibuku sedih, dengan perbandingan jumlah marga tersebut. 

Ibu yang tidak bisa pilih-pilih kasih dan paling suka memanjakan kami, bisa terlihat dari kami yang tidak ahli dalam memasak, tidak ahli dalam mencuci maupun beres-beres rumah, yang paling hebat untuk semua hal itu adalah Ibu. Ibu yang suka bersih dan makanan enak (tidak make mecin).


Oh iya, Ibuku lahir dari seorang Ibu Pedagang dan Ayahnya seorang pengurus Gereja sembari bertani. Ibuku termasuk anak badung pada masanya, merokok dan tidak tamat SMP dan suka menjelajah. Hingga dia jatuh hati ke Ayahku dan menjadi keluarga keren. Rumah sangat ramai dengan jumlah anaknya 6 orang dengan keunikan masing-masing dan kesukaan kami adalah bermanja kepada Ibu dengan minta makan disuapin, tidur harus ditemani dan kemanjaan lainnya. 

Berjalannya waktu, Ibu ternyata punya penyakit tumor di dekat rahimnya dan harus dioperasi. Kita semua pasti takut kehilangan Ibu. Sakitnya ternyata bertambah setelah beberapa tahun kemudian, ada kanker di rahimnya. Dengan persetujuan keluarga, maka Rahim Ibuku diangkat beserta penyakit kanker rahimnya. Dari situ aku berpikir bahwa manusia tidak harus sempurna seutuhnya untuk disayangi, tidak harus selalu simetris seperti kemiripan pada manusia lainnya. Sejak itu, Ayahku memutuskan bahwa Ibuku tidak boleh lagi bertani atau bekerja terlalu berat. Dan alhasil Ibuku memilih menjadi Pedagang lagi dengan sembari menemani Ayahku berkebun.



Kalau dilihat dari pekerjaan Ayahku dan Ibuku, memang sangat ringan dengan saling membantu antara mereka dan saling menguatkan. Pendapatan yang sangat menakjubkan dari Ibu, sering menguatkan aku di tanah rantau. Pesannya adalah jika ke Jakarta untuk mencari uang, mending urus tanah dan berdagang seperti Ibu yang bekerja hanya 10 hari dalam sebulan dan pendapatan bersih rata-rata 1 hari adalah Rp. 1.500.000,- dengan punya waktu luang yang sangat banyak di kampungku Tarutung. Maka aku berani ke Jakarta pun dikarenakan ilmu yang sangat banyak di sini.

Ibuku berbeda dengan Kartini, Cut Nyak Dien, maupun dengan perempuan lainnya. Bahkan pembanding dengan pahlawan atau filsuf dan lain sebagainya 

Ibu, kami mencintaimu.

Comments

Popular Posts