BEDA KONTEKS HISTORIS PERJANJIAN LAMA & PERJANJIAN BARU



Secara obyektif dapat dikatakan bahwa Perjanjian Lama  lebih menyajikan landasan teologis untuk pengembangan sikap kritis bagi orang Kristen untuk menyoroti hal-hal yang menyangkut urusan kekuasaan dan pemerintahan, ketimbang Perjanjian Baru. Pendek kata, landasan teologis untuk berpolitik.

Seperti yang dikemukakan oleh seorang sahabat saya, Pendeta Jacky Manuputty dari Gereja Protestan Maluku, Perjanjian Lama jauh lebih banyak berbicara tentang konsep pemerintahan dan kekuasaan, karena status Israel (Utara) dan Israel Selatan (Yehuda) masih sebagai kerajaan-kerajaan yang berdaulat penuh.

Kesaksian nabi Yeremia, Hosea, dan Amos sangat keras terhadap pemerintah di Israel dan Yehuda. Fokus mereka adalah ketimpangan social di tengah-tengah kejayaan kerajaan-kerajaan Israel dan Yehuda. Ibadah Israel pun dikritik habis-habisan, sebab hanya mementingkan ritus.  

Nabi Habakuk sudah mewartakan kehancuran Yehuda oleh serangan kerajaan Babel, sebagai hukuman Tuhan atas Israel yang murtad. Saat itu Yoyakim mulai menjadi raja di Yehuda, dan kondisi kerajaan saat itu seperti digambarkan di awal kitab Yeremia. Babel waktu itu dipimpin oleh Raja Nebukadnezar. Pada tahun ketiga pemerintahan Yoyakim, pasukan Nebukadnezar mengepung kota Yerusalem, Yehuda ditaklukkan, dan banyak orang Yehuda dibuang ke Babel. Termasuk seseorang yang kemudian menjadi nabi pengecam raja Nebukadnezar dan anaknya, Darius.

Nabi itu adalah Daniel, yang kesaksiannya juga menggambarkan ketegaran seorang tua untuk menantang kepongahan para raja, walaupun ia harus menghadapi risiko dibuang ke gua singa. Nubuatan Daniel tentang kejatuhan Nebukadnezar memang terwujud, yang kemudian diingat oleh anaknya, Darius.

Berbeda dengan Perjanjian Lama, Perjanjian Baru ditulis setelah Israel menjadi koloni Romawi. Herodes hanyalah raja boneka, sebab kekuasaan sesungguhnya ada di tangan Pilatus sebagai wali negeri, mewakili Kaisar di Roma. Sikap yang sepintas lalu sangat diplomatis dari keempat penulis Injil maupun para rasul di bagian kedua Perjanjian Baru, ada latar belakangnya.

Di masa kehidupan Yesus, menurut Pdt. Jacky Manuputty, ada gerakan aliran keras dari orang-orang Yahudi yang ingin memperjuangkan kemerdekaan dari penjajahan Romawi, dipimpin oleh Simon Zelot dan Judas Makabeus. Faksi ini berkeras mendesak Yesus untuk memimpin pemberontakan melawan Roma, tetapi ditolak. Ini kemudian merupakan salah satu alasan, mengapa orang Yahudi memusuhi Yesus.

Dengan kata lain, para penulis Perjanjian Baru harus mengayuh biduk penginjilan mereka di antara dua batu karang yang berbahaya, yakni rezim kolonial Romawi dengan orang-orang Yahudi antek mereka, seperti Saulus sebelum bertobat dan menjadi Paulus, dan gerakan anti-kolonialis Romawi pimpinan Zelot dan Makabeus.

Kendati demikian, toh ada juga nats dalam PB yang agak radikal. Salah satu nats yang sering dijadikan landasan teologis untuk mendorong keterlibatan politis gereja dan orang-orang Kristen adalah Lukas 4: 18-19. Kutipan dari kitab nabi Yesaya itu dibacakan oleh Yesus, ketika Ia datang ke Nasaret tempat Ia dibesarkan, dan menurut kebiasaanNya pada hari Sabat masuk ke rumah ibadat, lalu berdiri dan membacakan nats dari kitab nabi Yesaya itu, yang berbunyi sebagai berikut:
“Roh Tuhan ada padaKu, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang”.



Comments

Popular Posts