JADILAH TELADAN DALAM BERBUAT BAIK (Titus 2:7a)
TEMA : JADILAH TELADAN DALAM
BERBUAT BAIK (Titus 2:7a)
Masa Bakti 2012-2014
A. Pengantar
Dalam setiap kongres, tema ditetapkan sebagai landasan penatalayanan
GMKI yang menjiwai seluruh gerak internal maupun eksternal organisasi. tema
adalah gambaran dari seluruh realitas dalam tiga mdan pelayanan GMKI yang
dirumuskan berdasarkan pertimbangan dan hasil analisa pada konteks pergumulan
GMKI. Oleh sbab itu tema haruslah merupakan abstraksi realitas sekaligus sruan
profetis yang berisi sikap, posisi dan harapan GMKI terhadap kehidupan sosial.
Sub tema merupakan penjabaran tema dalam konsep operasional, yang
sifatnya akumulatif untuk memberikan tuntunan bagi perumusan program, dengan
memuat gagasan tentang barbagai aspek kehidupan yang menjadi sasaran
aktualisasi pelayanan GMKI. Aspek-aspek yang digagas dalam sub tema merupakan
pilihan sadar untuk menjadi media pengejewantahan tema.
B. Kajian Teologis Tema
Titus adalah seorang bukan
Yahudi yang sudah masuk agama Kristen lalu menjadi teman sekerja dan membantu Paulus dalam
pekerjaannya. Surat ini ditujukkan kepada Titus yang pada waktu itu berada di
Kreta karena telah ditinggalkan di sana oleh Paulus untuk mengurus jemaat di
sana. Kreta adalah suatu wilayah yang
sangat sulit luar biasa, dianggap hina dan berbudaya sangat rendah sekali bagi
orang-orang Romawi. Karena itu muncul slogan orang Kreta adalah pembohong,
pemalas dan berotak kosong. Tidak ada aspek yang baik dari orang Kreta.
Kepada orang Kristen yang tinggal di situ, Paulus menekankan : engkau adalah
orang Kristen, walaupun engkau adalah orang Kreta, engkau harus menjadi orang Kristen yang mengalami transformasi dan perubahan.
Kepada jemaat yang ada di Kreta, Paulus mendorong mereka untuk hidup dalam self
control, belajar menjadi orang Kristen yang berbuat baik. Paulus mengutus Titus
ke Kreta karna kemungkinan ia adalah orang
yang lebih tegas dan lebih berani. Ada tiga hal yang dikemukakan di dalam
surat ini.
Pertama, Titus diingatkan mengenai sifat-sifat orang yang boleh menjadi
pemimpin jemaat. Hal itu dikemukakan terutama karena kelakuan orang-orang di
Kreta banyak yang jahat. Kedua,
Titus dinasihati mengenai bagaimana seharusnya ia mengajar setiap golongan
orang yang menjadi anggota jmaat itu, yaitu golongan laki-laki dan wanita yang
sudah tua (yang sharusnya mengajar pula orang-orang yang lebih muda dari
mereka), golongan orang-orang muda dan golongan hamba-hamba. Akhirnya Titus
diajar mengenai bagaimana seharusnya kelakuan orang Kristen. Yang paling
penting ialah bahwa orang Kristen harus peramah dan suka damai, jangan membenci
orang, jangan suka bertengkar atau menimbulkan perpecahan. Paulus telah
meninggalkan Titus di Titus di Pulau Kreta dan surat ini dikirimkan kepadanya
dengan maksud memberi petunjuk supaya ia dapat mengatur apa yang masih perlu
diatur dan supaya ia menetapkan penatua-penatua disetiap kota (Tit. 1:5).
Syarat-syarat khusus bagi para pemimpin rohani harus dituruti secara
saksama. Sekarang ini sebagaimana pada abad pertama, sikap mengabaikan suatu
syarat akan membawa konsekuensi yang dahsyat bagi mereka atau jemaat yang
mengabaikannya. Surat kepada Titus ini menekankan agar para pemimpin gereja
harus tidak bercacat cela dan tetap setia kepada firman Tuhan (Titus 1:6-9). Ia
juga mengingatkan bahwa banyak orang yang mengaku diri guru-guru tetapi
sebenarnya adalah penyesat-penyesat yang mengaku mengenal Allah, tetapi dengan
perbuatan mereka, mereka menyangkal Dia.
Mereka keji dan durhaka dan tidak sanggup berbuat sesuatu yang baik (Titus
1:16).
Paulus memberikan petunjuk bahwa lelaki yang lebih tua harus mengajar yang
lebih muda dan mengajar mereka untuk meninggalkan ambisi-ambisi yang jahat dan
keinginan-keinginan duniawi dan hidup memuliakan Allah sementara menantikan
penggenapan pengharapan kita yang penuh bahagia dan penyataan kemuliaan Allah
yang Mahabesar dan Juruselamat kita Yesus Kristus, yang telah menyerahkan
dirinya bagi kita untuk membebaskan kita dari segala kejahatan (Titus 2:13-14).
Nasihat ini diikuti dengan peringatan bahwa kehidupan kekal itu tidak diperoleh
melalui perbuatan baik yang telah kita lakukan, tetapi karena rahmatNya oleh
permandian kelahiran kembali dan oleh Roh Kudus, yang sudah dilimpahkanNya
kepada kita oleh Yesus Kristus, supaya kita sebagai orang yang dibenarkan oleh
kasih karuniaNya berhak menerima hidup yang kekal, sesuai dengan pengharapan
kita (Titus 3:5-7).
Setiap pemimpin, apakah itu pemimpin gereja atau dimana saja, memiliki
suatu tanggung jawab. Tidak peduli siapa diri anda, orang lain sedang
memperhatikan anda dan terpengaruh oleh teladan hidup anda. Tidak diragukan
lagi jika banyak orang telah menjadi teladan/contoh yang buruk bagi para
saudara seiman bahkan kadang-kadang menjadi teladan yang buruk bagi umat
percaya yang masih lemah iman atau yang baru bertobat/lahir baru.
Menasihati orang itu mudah,
tapi tidaklah mudah untuk menjadi teladan. Ketika
mengajari kita hanya perlu membagikasn nilai-nilai kebenaran lewat perkataan,
namun dalam menerapkan keteladanan kita harus mengadopsi langsung seluruh
nilai-nilai yang kita ajarkan untuk tampil secara langsung dalam perbuatan
kita. Menjadi teladan itu jauh lebih berat dibanding menjadi guru. Itulah
sebabnya tidak semua guru mampu menjadi teladan, sementara orang-orang yang
mampu menunjukkan nilai-nilai kebenaran dalam hidupnya akan mampu memberi
pengajaran tersendiri meski tanpa mengucapkan kata-kata sekalipun.
Kepada jemaat Korintus, Paulus mengingatkan demikian : “Sebab itu
aku nasihatkan kamu : turutilah teladanku!” (1 Kor. 4:16). Kalimat ini singkat, tetapi sesungguhnya tidaklah ringan. Bagaimana
mungkin Paulus berani berkata seperti itu apabila ia tidak atau belum
mencontohkan apapun? Tapi kita mengenal siapa Paulus. Ia mengalami perubahan
hidup 180 derajat dalam waktu relative singkat. Dari seorang pembunuh dan
penyiksa orang percaya, ia berubah menjadi orang yang sangat radikal dan berani
dalam menyebarkan Injil keselamatan. Ia mengabdikan seluruh sisa hidupnya untuk
pergi ke berbagai pelosok dalam menjalankan misinya bahkan sampai ke Asia
kecil. Dalam menjalankan misinya Paulus mengalami banyak hal yang mungkin akan
mudah membuat kita kecewa apabila berada di posisinya. Tetapi tidak demikian
dengan Paulus. Lihatlah apa yang ia katakana : “sampai saat ini kami lapar,
haus, telanjang, dipukul dan hidup mengembara, kami melakukan pekerjaan tangan
yang berat. Kalau kami dimaki, kami memberkati; kalau kami dianiaya, kami
sabar; kalau kami difitnah, kami tetap menjawab dengan ramah.” (1 Kor.
4:11-13). Kita bisa melihat sendiri bagaimana karakter, sikap Paulus dalam
menghadapi berbagai hambatan dalam pelayanannya. Apa yang ia ajarkan semuanya
telah dan terus ia lakukan sendiri dalam kehidupannya. Karenanya pantaslah jika
Paulus berani menjadikan dirinya sebagai teladan atau role model.
Dalam masa hidupnya yang singkat di muka bumi ini, Yesus pun
menunjukkan hal yang sama. Segala yang Dia ajarkan telah Dia contohkan secara
langsung pula. Lihatlah sebuah contoh dari perkataan Yesus sendiri ketia Ia
mengingatkan kita untuk merendahkan diri kita menjadi pelayan dan hamba dalam
Matius 20:26-27. Yesus berkata :”sama
seperti Anak Manusia bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk
memberikan nyawaNya menjadi tebusan bagi banyak orang.”(ay 28). Apa yang
diajarkan Yesus telah Dia contohkan pula secara nyata. Ketika Yesus berkata “Inilah perintah-Ku, yaitu supaya kamu saling
mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu.” (Yoh. 15:12), kita pun lalu
bisa melihat sebesar apa kasihNya kepada kita. Yesus mengasihi kita sebegitu
rupa sehingga Dia rela memberikan nyawaNya untuk menebus kita semua. “Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada
kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya.” (ay 13).
Yesus membuktikannya secara langsung lewat karya penebusanNya.
Jauh lebih mudah untuk menegur dan menasihati orang ketimbang menjadi
teladan, karena sikap kita haruslah sesuai dengan perkataan yang kita ajarkan.
Ini gambaran kehidupan yang berintegritas, sesuatu yang sudah semakin langka
untuk ditemukan hari ini. Tetapi Tuhan menghendaki kita semua agar tidak
berhenti hanya dengan memberi nasihat, teguran atau pengajaran saja, melainkasn
menjadi teladan dengan memiliki karakter, gaya hidup, sikap, tingkah laku dan
perbuatan yang sesuai dengan nilai-nilai
kebenaran yang kita katakana. Alkitab mengajarkan : “Dan jadikanlah
dirimu seendiri suatu teladan dalam berbuat baik. Hendaklah engkau jujur dan bersungguh-sungguh dalam pengajaranmu.”
(Titus 2:7). Kita dituntut untuk bisa menjadi teladan di muka bumi ini.
Sesungguhnya itu jauh lebih bermakna ketimbang hanya menyampaikan ajaran-ajaran
lewat perkataan kosong. Sebagai orang tua, abang, kakak dan teman kita harus
sampai kepada sebuah tingkatan untuk menjadi contoh teladan. Tetapi tugas
menjadi teladan pun bukan hanya menjadi keharusan untuk orang-orang tua saja.
Sejak muda pun kita sudah bisa, dan sangat dianjurkan untuk bisa menjadi
teladan bahkan bagi orang-orang yang lebih tua sekalipun. Firman Tuhan berkata
: “Jangan seorangpun menganggap engkau
rendah karena engkau muda. Jadilah teladan bagi orang-orang percaya,
dalam perkataanmu, dalam tingkah lakumu, dalam kasihmu, dalam kesetiaanmu dan
dalam kesucianmu.” (1 Tim. 4:12).
Yesus menginginkan kita untuk menjadi orang-orang yang mampu bercahaya
di depan orang lain. “Demikianlah
hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu
yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga.”(Mat. 5:16). Itu tidak akan
pernah bisa kita lakukan apabila kita tidak memiliki sikap yang pantas sebagai
seorang teladan. Menjaga kehidupan, perbuatan, tingkah laku dan sikap kita sesuai dengan firman Tuhan merupakan jalan
satu-satunya agar kita bisa menjadi terang yang bercahaya bagi orang lain dan
bukan menjadi batu sandungan.
Ada perkataan bijak yang berbunyi, “seorang pemimpin yang baik adalah
seorang yang mengetahui suatu jalan, kemudian melangkah ke jalan tersebut dan
menunjukkan jalan itu”. Jadi, tidak cukup dengan hanya mengetahui jalan itu
saja. Yesus berkata “Akulah jalan dan kebenaran dan hidup” dan Yesus telah
melakukannya. Rasul Paulus berkata, “Jangan seorangpun menganggap engkau rendah
karena engkau muda. Jadilah teladan bagi orang-orang percaya…” ini berartibahwa
usia muda bukanlah alasan untuk tidak sanggup menjadi teladan yang baik. Lalu,
bagaimana caranya untuk menjadi teladan yang baik ?
1.
Menjadi teladan melalui perkataan
Dalam Kolose 4:6 ditulis :“Hendaklah
kata-katamu senantiasa penuh kasih, jangan hambar, sehingga kamu tahu,
bagaimana kamu harus memberi jawab kepada setiap orang.” Melalui perkataan yang positif dan membangun,
kita menjadi teladan yang baik bagi orang lain dan sekaligus menjadi berkat
lewat perkataan kita.
2.
Menjadi teladan melalui cara hidup
“Orang benar akan hidup oleh iman” (Roma 1:7, Habakuk 2:4). Iman adalah
dasar kehidupan umat percaya. Cara hidup dengan iman merupakan teladan yang
baik yang dapat kita praktekkan dalam kehidupan sehari-hari ketika menghadapi
situasi apapun juga.
3.
Menjadi teladan melalui cara kita
mengasihi orang lain
Yoh. 13:35 menulis :”Dengan
demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-muridKu, yaitu jikalau
kamu saling mengasihi.” Kita menjadi saksi Kristus bagi orang lain melalui
kasih yang kita nyatakan dalam perbuatan nyata. Perbuatan kasih adalah teladan
baik yang perlu kita lakukan karena Yesus telah terlebih dahulu mengasihi kita.
4.
Menjadi teladan melalui perbuatan
iman
Abraham adalah teladan orang beriman (Roma 4:18-22). Perbuatan imannya
nyata ketika ia tetap percaya dan tidak bimbang akan janji Tuhan walaupun
tubuhnya sudah sangat lemah, usianya sudah sangat tua dan rahim Sara telah
tertutup. Menjadi teladan iman yaitu jika kita hidup dan melakukan perbuatan
iman.
5.
Menjadi teladan melalui hidup
kudus
Filipi 4:8 :“Jadi akhirnya,
saudara-saudara, semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua
yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut
kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu.” Memiliki pikiran
yang kudus adalah awal untuk kita dapat hidup dalam kekudusan, menjaga
kekudusan dan menjadi contoh nyata bagi orang lain.
Perbuatan kita sehari-hari secara langsung/tidak langsung sangat
berpengaruh terhadap orang lain. Terutama bagi para pemimpin, menjadi teladan
yang baik sangatlah mempengaruhi karakter orang-orang yang dipimpinnya. Yesus
telah menjadi teladan yang baik melalui perkataan maupun perbuatan. Kita pun
bisa menjadi teladan yang baik melalui perkataan, cara hidup, cara kita
mengasihi orang lain, melalui perbuatan iman dan melalui hidup kudus. Jika kita
melakukannya, hidup kita menjadi saksi Kristus yang hidup dan nyata di tengah
dunia.
Allah memanggil umatNya untuk menjadi saksi. Karena itu umat Allah perlu
mengalami pembentukan nilai-nilai teologis yang utuh dan sistematis, dengan
tujuan memperoleh suatu pemahaman teologis yang benar serta membentuk worldview yang kokoh. Dengan demikian
umatNya dapat menjadi model untuk memberkati orang lain. Makna hidup yang
sebenarnya ditemukan melalui pengenalan akan Yesus Kristus sebagai Tuhan dan
Juruselamat, hidup sesuai dengan kehendaknya, merasakan pengalaman hidup
denganNya, juga melalui kebahagiaan, pencobaan dan ujian dengan rasa syukur.
Untuk dapat menjadi saksiNya, maka kualitas kehidupan rohani menjadi
ukurannya. Kehidupan rohani yang baik, benar dan dewasa diperoleh melalui
pengenalan secara pribadi, mau dibentuk dari hari ke hari, juga melalui proses
pembelajaran. Yesus berkata “Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah padaKu,
karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan.
Sebab kuk yang Kupasang itu enak dan beban Kupun ringan (Mat. 11:28-30).
Pembentukan dan proses belajar daalam Yesus akan membentuk kedewasaan rohani.
Kedewasaan rohani dapat dilihat pada umatNya khususnya mereka yang menyebut
diri pemimpin Kristen/pemimpin rohani. Diantaranya :
1.
Menjadi ciptaan baru. “Jadi siapa
yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru, yang lama sudah berlalu,
sesungguhnya yang baru sudah datang.” (2 Kor. 5:17). Ciptaan baru yang dimaksud
adalah hidup sesuai dengan kehendakNya dan melakukan firmanNya. Meninggalkan
kehidupan lama berarti meninggalkan semua perbuatan-perbuatan yang tidak baik
dan benar.
2.
Hidup berdamai : pertama, berdamai
dengan Allah. “Sebab Allah mendamaikan dunia dengan diriNya oleh Kristus dengan
tidak memperhitungkan pelanggaran mereka.” (2 Kor. 5:19). Kedua, berdamai
dengan diri sendiri. “Jauhilah yang jahat dan lakukanlah yang baik, carilah
pendamaian dan berusahalah mendapatkannya.” (Mzm. 34:15). Ketiga, berdamai
dengan orang lain. “Hiduplah dalam perdamaian dengan semua orang” (Roma 12:18).
3.
Pelaku Firman Allah. “Hendaklah
kamu menjadi pelaku firman dan bukan hanya pendengar saja.”(Yak. 1:22)
C. Kajian Umum Tema
Bicara tentang moralitas dewasa ini riskan karena omongan tentang
kemerosotan moralitas sudah mewabah. Para politisi, pemmpin agama dan pejabat,
semua mengeluhkan kemerosotan akhlak orang-orang Indonesia. Korupsi sudah
merusak aparat yudisial, menggerogoti kepastian hokum, menyebabkan
parlemen-parlemen lalai menangani masalah-masalah yang perlu ditangani,
menciptakan suasana dimana hanya orang gila atau preman berani menanamkan
modalnya di tanah Indonesia. Korupsi adalah penyakit moral di tubuh bangsa yang paling mengkhawatirkan.
Selama lebih dari satu dekade sejak reformasi, publik begitu risau atas
ingar-bingar dan kontroversi terkait sepak terjang parpol. Kekecewaan demi
kekecewaan bermunculan terkait perilaku parpol yang dinilai buruk. Kasus
korupsi, oligarki, konflik dan kekerasan, sengketa hukum, pecitraan, serta
ragam masalah sejenis akhirnya mendangkalkan peran institusi demokrasi ini.
Selama ini, UU Pemilu memberikan penegasan besaran kewenagan parpol sebagai
penentu upaya meraih kuasa formal di eksekutif ataupun legislative. Namun,
kewenagan besar itu tak diikuti oleh kapasitas lembaga politik tersebut dalam
menjalankan fungsi representasinya. Politisi gagal mengelola parpol secara
modern bahkan asal-asalan. Selain berpola oligarkis, manajemen yang buruk dan
korup, kapasitas SDM politisi yang tidak memadai, serta system kaderisasi di
bawah baying-bayang feodalisasi dan klientilisme, parpol disibukkan hal-hal
pragmatis yang tak ada hubungannya dengan pembangunan system politik modern.
Akibatnya, tak ada energi dan komitmen parpol untuk mereformasi dirinya.
Dalam harian Suara Pembaharuan tanggal 1 Oktober 2012 dinyatakan bahwa
dalam kurun waktu 2004-2012 Presiden, Mendagri dan Gubernur telah mengeluarkan
izin pemeriksaan terhadap sekitar 2.300 orang kepala daerah dan anggota
DPR/DPRD yang tersangkut korupsi dan perbuatan merugikan Negara. Dalam Koran
tersebut juga Dipo Alam mengemukakan bahwa sejak Oktober 2004 hingga September
2012, Presiden SBY telah mengeluarkan 176 persetujuan tertulis untuk penyelidikan
hukum pejabat Negara dalam berbagai kasus. Lebih dari separuh diantaranya
adalah pejabat dari partai politik, dengan tiga besarnya adalah Partai Golkar,
PDI-P, dan Partai Demokrat.
Indonesia sebagai
negara kesatuan ternyata belum mempunyai pemimpin yang tegas namun mampu
mengayomi rakyatnya. Pasalnya, dari 460 kepala daerah tingkat II dan 33
gubernur di seluruh Indonesia, 240 di antaranya memiliki masalah hukum termasuk
kasus korupsi. Banyak figur pemimpin di Indonesia masih belum bisa mengedepankan kepentingan
bangsa. Karena proses menjadi pemimpin bukan berasal dari kompetisi, namun
perebutan kekuasaan. Pemimpin yang ada bukan berasal dari negarawan, namun
berasal dari kalangan politikus yang memiliki banyak kepentingan pribadi. Saat
ini pemimpin hanya sebagai pengurus negara, bukan pemimpin, Pemimpin yang ada
saat ini baik di pemerintahan, Mereka hanya mengerjakan tugas keseharian
kenegaraan, mereka mencoba mengurusi korupsi agar tidak terbongkar dan mereka
mencari uang agar partainya menang dalam pemilu
2014 mendatang.
Tidak bisa dimungkiri bahwa bangsa kita memang sedang
mengalami keperpurukan luar biasa akibat krisis multi dimensi berkepanjangan.
Tingginya angka kemiskinan (30,02 juta jiwa, Maret 2011), pengangguran (8,12
juta, Februrari 2011), korupsi, konflik kekerasan, perdagangan orang (human
trafficking), berbagai tindak kriminalitas, pelanggaran Hak Asasi Manusia
(HAM), hingga wabah penyakit di berbagai pelosok daerah. Degradasi moral
seperti maraknya pelecehan seksual, pornografi (urutan ke-3 di seluruh dunia),
perjudian, dan berbagai kemaksiatan lainnya.
Bisa diibaratkan kondisi negara ini seperti ikan yang
sedang membusuk mulai dari kepala terus menjalar ke badan hingga ekor. Hal ini
terlihat jelas dari perilaku koruptif dan manipulatif yang dipertontonkan para
pemimpin bangsa (eksekutif, legislatif, judikatif). Mereka yang diberi amanat
untuk mengelola dan melayani rakyat justru sibuk memperkaya diri dengan korupsi
berjamaah (merampok uang rakyat), berpesta-pora (hidup mewah), hingga menjual
kekayaan alam dan martabat negara untuk kepentingan tertentu. Tidak heran jika
saban hari kita menyaksikan berita tentang pejabat yang tertangkap korupsi,
berbuat mesum, tawuran, menerobos jalur bus way, pesta narkoba, hingga
sibuk menonton video porno atau tidur nyenyak waktu rapat (terutama di
senayan).
Ketika bangsa kita sedang diterpa keterpurukan luar
biasa, ada pertanyaan besar yang menggelisahkan yaitu dimana peran dan posisi
para orang percaya (mengaku Kristen)?
Yesus Kristus adalah Kepala Gerakan ini, ungkapan yang
sering diteriakkan (menyemangati) para kader GMKI di seluruh pelosok tanah air.
Kata-kata ini makanya sangat substansial dimana Tuhan Yesuslah yang memimpin
(pusat) GMKI dimanapun berada. Jadi setiap kader harus melaksanakan tugas
(pelayanan) yang diamanatkan dan mengikuti teladan hidup Yesus dalam
perilakunya sehari-hari.
Tugas kader dalam melayani di ketiga medan pelayanan
(Geraja, kampus, dan masyarakat) diibaratkan seperti menggarami dunia (Mat
5:13). Jadi siapapun kader GMKI seharusnya bisa menggarami lingkungan
pelayanannya. Seperti kita tahu bahwa garam akan berguna (bermanfaat) jika
asin.
Kader yang berkualitas tentulah kader yang memiliki
karakter positif. Dalam ajaran Kristen, kader yang mengenal, melaksanakan, dan menyebarluaskan
kebenaran (Firman Tuhan) dalam kehidupan sehari-hari. Kader seperti inilah
garam yang berkualitas baik. Karakter positif (yang berdasarkan kebenaran) ini sering
juga disebut integritas.
Pribadi berintegritas tentu akan selalu berusaha menjaga
kekudusan dalam hidupnya (I Petrus 1:16). Menjaga kekudusan bukan berarti kita
harus mengasingkan (terpisah) dari kehidupan sosial (masyarakat) atau pergi
bertapa ke gunung, namun makna sebenarnya kita harus menjaga perilaku sesuai
Firman Tuhan ketika berinteraksi dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain
kita harus hidup benar dihadapan Tuhan dan manusia.
Kader-kader GMKI semestinya adalah pribadi
berintegritas sehingga bisa melayani secara maksimal di ketiga medan pelayanan.
Segala tantangan adalah ujian bagi peningkatan kualitas keimanan. Memang tidak
mudah menjadi pribadi berintegritas di tengah-tengah pembusukan bangsa. Seperti
Firman Tuhan, ‘kita seperti domba yang diutus ke tengah-tengah serigala,”
tetapi ingat bahwa domba memiliki gembala. Jadi kita tidak perlu takut dan
ragu, sebab Sang Gembala akan melindungi dan memberkati kita sepanjang hidup
kita berkenan kepadaNya. Biarlah GMKI tetap menjadi organisasi kader di
Indonesia yang akan memimpin transformasi bangsa. Dengan kekuatan dari Sang
Kepala Gerakan Tuhan Yesus, kita semua akan bisa mewujudkannya.
Disaat kondisi bangsa seperti ini peranan GMKI harus hadir sebagai
pilar, penggerak dan pengawal jalannya reformasi dan pembangunan sangat
diharapkan. Dengan organisasi dan jaringannya yang luas, GMKI dapat memainkan
peran yang lebih besar untuk mengawal jalannya reformasi dan pembangunan.
Seharusnya melalui GMKI terlahir inspirasi untuk mengatasi berbagai kondisi dan
permasalahan yang ada. Kader-kader GMKI yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia
saat ini mesti mengambil peran sentral dalam berbagai bidang untuk kemajuan.
Saatnya kader-kader GMKI menjadi teladan dan menempatkan diri sebagai agen
sekaligus pemimpin perubahan. GMKI selaku bagian integral dari bangsa Indonesia
harus meletakkan cita-cita dan masa
depan bangsa pada cita-cita perjuangannya. Kader-kader yang relatif bersih dari
berbagai kepentingan harus menjadi asset yang potensial dan mahal untuk
kejayaan dimasa depan. Saatnya generasi muda memimpin perubahan.
D. Matra Pelayanan GMKI
1.
Gereja
Sampai saat ini kita masih menjumpai perpecahan di
tubuh gereja bahkan adapula yang sampai menyebabkan permusuhan antar gereja.
Tidak jarang kita mendengar orang berkata bahwa gerejanya yang benar dan
menganggap gereja lainnya sesat. Saling mengejek, merendahkan, memojokkan,
menganggap hanya dirinya yang benar sedangkan yang lainnya salah. Ini adalah
hal yang menyedihkan. Bagaimana gereja mau menjadi berkat jika di antara
organisasi gereja saja sudah saling menyalahkan? Apa kata dunia? Bukannya
mencari titik persamaan tapi malah semakin sibuk menggali jurang perbedaan.
Bukannya semakin dekat, tapi malah semakin jauh. Dimana letak kasih jika itu
yang terjadi? Jangan mimpi dulu untuk bisa mengasihi orang lain jika kepada
saudara seiman saja orang Kristen tidak mampu mengaplikasikannya. Jangan mimpi
dulu untuk mengubah dunia menjadi lebih baik jika yang sudah baik saja terus
kita gerogoti.
Mengenai kesatuan ini kita bisa meneladani sikap
gereja mula-mula. Lihatlah bagaimana kebersatuan mereka yang begitu indah.
“Mereka bertekun dalam pengajaran rasul-rasul dan dalam persekutuan. Dan mereka
selalu berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa.” (Kisah Para Rasul 2:42).
Dalam kebersatuan dan ketaatan pun mereka kemudian diberkati Tuhan dengan
hadirnya banyak mukjizat dan tanda. (ay 43). Lalu dikatakan bahwa menyaksikan
kemuliaan Tuhan turun atas mereka, semuanya terus bersatu, bahkan kepunyaan
mereka masing-masing pun menjadi milik bersama. “Dan semua orang yang telah
menjadi percaya tetap bersatu, dan segala kepunyaan mereka adalah kepunyaan
bersama,” (ay 44). Dan lihatlah bahwa dengan kebersatuan yang mereka tunjukkan,
dunia bisa melihat dan percaya. Maka Tuhan pun menambah jumlah mereka dengan
orang yang diselamatkan. (ay 47). Lihatlah bahwa tidak ada perbedaan antara
jemaat mula-mula. Orang Yahudi atau tidak, kaya atau miskin, pria atau wanita,
tua atau muda, mereka semua bersatu dan sama-sama bertekun untuk belajar
kebenaran firman Tuhan.
Atas dasar nasionalisme-oikoumenisme maka kader-kader
GMKI harus menjadi teladan bahwa semua orang Kristen di Indonesia adalah bagian
dari tubuh Kristus, yang seharusnya saling mengisi. Alangkah indahnya jika kita
bisa menyampingkan berbagai perbedaan yang berpotensi menjadi celah bagi iblis
untuk memecah belah kita, lalu saling dukung untuk bertumbuh bersama-sama.
Tidak boleh ada toleransi terhadap perpecahan, apapun alasannya diantara sesama
tubuh gereja sendiri. Bentuk tata cara peribadatan boleh saja berbeda, yang
penting semuanya berdasar pada iman yang sama akan Kristus. Perbedaan
denominasi boleh saja, tapi semuanya tetap merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari bait Allah yang kudus. Di atas segala perbedaan ada satu
kesamaan, dan mulailah dari sana. Kita diajarkan untuk saling mengasihi,
seperti halnya Tuhan mengasihi kita. Maka terapkanlah hal itu mulai dari yang
kecil, yaitu diantara sesama jemaat Kristus. Jangan bermimpi untuk bisa
menyelamatkan dunia jika kepada saudara sendiri saja kita masih saling curiga.
Jika itu yang masih kita pertontonkan, apa kata dunia? Yesus menginginkan kita
untuk bersatu, sedang iblis ingin kita terpecah belah dan saling benci. Mana
yang akan kita pilih?
Yesus telah memberikan keteladanan bahwa berbuat baik
dan menyelamatkan nyawa yang menderita lebih utama dari pada mematuhi
kewajiban-kewajiban agamawi seperti mengindahkan hari sabat atau memperoleh
pendamaian melalui korban-korban. Kasih yang tulus ikhlas menjadi hukum yang
memberikan kehidupan dalam kerajaan Allah. Kadang kasih itu hanya sekedar
slogan atau bahasa sambutan belaka. Allah tidak mau menerima
persembahan-persembahan dari orang-orang yang tidak mau mengasihi. Allah
menghendaki umatNya mengasihi tanpa memperhitungkan keuntungannya dan tanpa
membatasi diri hanya pada kelompok-kelompok tertentu saja. Sebagamana orang
Samaria yang baik hati membantu si korban sedangkan seorang imam hanya
melewatinya. Orang yang mengasihi dapat menemukan sesamanya dalam setiap
manusia mana pun yang membutuhkan bantuan dari sesamanya.
Orang baik meninggalkan warisan bagi anak cucunya,
tetapi kekayaan orang berdosa disimpan bagi orang benar (Amsal 13:22). Kita
tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk
mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang
terpanggil sesuai dengan rencana Allah (Roma 8:28). TUHAN itu baik kepada
semua orang (Mazmur 145:9).
Hidup, iman dan segala sesuatu yang menyertai kita
atau kita miliki dan kuasai pada saat ini adalah anugerah Tuhan, yang kita
terima melalui aneka bentuk kebaikan saudara-saudari kita, yang mengasihi dan
memperhatikan kita. Masing-masing dari kita telah menerima anugerah Tuhan
melimpah ruah, kepada kita telah ditaburkan aneka bentuk kasih dan perhatian,
sehingga kita dapat hidup sebagaimana adanya pada saat ini. Marilah semuanya
itu kita syukuri dengan tindakan konkret, yaitu kita fungsikan demi keselamatan
jiwa kita dan jiwa saudara-saudari kita dengan menggunakan segala milik atau
anugerah untuk melayani orang lain. Marilah kita berlomba dalam berbuat baik
kepada orang lain. Ingat dan sadari semakin banyak kita berbuat baik kepada
orang lain kita sendiri akan semakin berbagia, ceria daan damai sejahtera,
karena semakin dikasihi oleh Tuhan dan sesama manusia Memberi dengan rela
hati berarti siap berkorban bagi orang lain, sebagai wujud iman kepada Yesus
yang telah memberikan DiriNya dengan wafat di kayu salib. Rela hati juga
berarti hatinya direlakan kepada orang lain alias senantiasa memperhatikan
orang lain, terutama mereka yang miskin dan berkekurangan.
2.
Masyarakat
Indonesia adalah negara yang mempunyai penduduk sangat
padat terutama di kota-kota besar. Dengan jumlah penduduk yang sangat padat,
membuat Indonesia banyak mengalami masalah sosial. Masalah sosial itu sendiri
adalah suatu kondisi yang dirumuskan atau dinyatakan oleh suatu entitas yang
berpengaruh yang mengancam nilai-nilai suatu masyarakat sehingga berdampak
kepada sebagian besar anggota masyarakat dan kondisi itu diharapkan dapat
diatasi melalui kegiatan bersama. Misalnya saja kemiskinan, pendidikan dan
kejahatan. Tak hanya itu, Masalah lain yang paling banyak di Indonesia juga ada
seperti Banyaknya pengangguran dan kurangnya keadilan untuk masyarakat terutama
masyarakat kecil. bukan menjadi rahasia lagi, Indonesia memiliki catatan hukum
yang jelek. Kadang yang salah terlihat benar dan yang benar bisa terlihat
salah. Kesenjangan kadang juga timbul antara si kaya dan si miskin.
Kondisi aktual masyarakat Indonesia di pengaruhi oleh
beberapa faktor yaitu modernisasi, globalisasi, perkembangan IPTEK dan
sekularisasi. Modernisasi dan globalisasi mempunyai dampak positif yaitu adanya
perubahan tata nilai dan sikap dalam budaya menyebabkan pergeseran nilai dan
sikap masyarakat yang semua irasional menjadi rasional, dan berkembangnya
IPTEK. Selain dampak positif ada pula dampak negatif dari modernisasi dan
globalisasi terhadap masyarakat Indonesia yakni menjadikan masyarakat memiliki
gaya hidup kebarat-baratan, dimana budaya barat mulai menggeser budaya asli
milik bangsa Indonesia.
Perkembangan IPTEK mempunyai dampak positif yaitu dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi masyarakat menjadi lebih mudah dalam beraktivitas dan mendorong untuk berpikir lebih maju. Selain dampak positif ada pula dampak negatif dari perkembangan IPTEK yakni mempunyai sikap Individualistik masyarakat merasa dimudahkan dengan teknologi maju membuat mereka merasa tidak lagi membutuhkan orang lain dalam beraktivitasnya. Kadang mereka lupa bahwa mereka adalah makhluk sosial yang akan membutuhkan orang lain.
Sekularisasi seingkali di identikkan dengan kematian agama dalam kehidupan masyarakat. Beberapa pengaruh sekularisasi pada masyarakat, diantaranya melahirkan masyarakat yang egois, individualis, hedonis, krisis akhlak, dan menjadikan agama hanya sebagai simbol. Yang di maksud dengan masyarakat hedonisme adalah masyarakat yang mempunyai pandangan hidup bahwa kesenangan dan kenikmatan hidup adalah tujuan utama dari kehidupan seperti terciptanya para koruptor di negeri ini dimana para koruptor tersebut mempunyai tujuan utama yakni mendapatkan kesenangan. Agama sebagai simbol juga merupakan salah satu dampak akan adanya sekulerisasi dimana agama hanya dijadikan sebagai bentuk dan gambaran akan suatu hal bahkan hanya lambang dari cerminan seseorang, dimana orang tersebut tidak mengetahui makna hakiki dari agama tersebut.
Masyarakat Indonesia saat ini mengalami berbagai
problem bangsa mulai dari tindakan kekerasan antara pendidik terhadap peserta
didik, orang tua terhadap anak, majikan terhadap pembantu, suami terhadap
isteri, perampokan, penculikan, pemerkosaan, aborsi, korupsi yang merajalela
yang melibatkan kepala daerah, politikus, wakil rakyat yang ada di DPR, banyak
bermunculan pungutan liar (pungli) merebak di dunia pendidikan saat
didengung-dengungkannya pendidikan gratis, dan pelayanan kesehatan pun tidak
maksimal bahkan ada yang meninggal karena keterlambatan penanganan akibat tidak
adanya jaminan uang bagi pasien atau akibat buruknya birokrasi. Belum lagi
tawuran yang melanda para generasi muda di tingkat sekolah dasar hingga
perguruan tinggi bahkan yang lebih memalukan tawuran antara wakil rakyat yang
tidak mencerminkan kedewasaan dalam berpikir.
Munculnya ide pendidikan karakter di negara kita perlu
kita sikapi dengan positif. Karena pendidikan karakter sangat dibutuhkan saat
kondisi masyarakat kita begitu terpuruk seperti sekarang ini. Namun dalam
pelaksanaannya perlu kita tinjau kembali bagaimana agar pendidikan karakter itu
dapat berjalan dengan efektif dan berdampak terhadap perubahan perilaku
masyarakat kita dari yang buruk menjadi baik. Sebagaimana diketahui dari hasil
penelitian bahwa anak lebih banyak belajar lewat penglihatan (83 %),
pendengaran (11 %), dan sisanya (6 %) adalah lewat peraba, pengecap dan
pencium. (Muhaimin, 2003 : 115) Artinya lewat penglihatan secara langsung
terhadap berbagai perilaku positif yang ditampilkan akan memberikan nilai
pendidikan yang lebih baik dalam pemahaman maupun dalam bertindak.
Potret lain dari kondisi masyarakat Indonesia saat ini
adalah Siapapun presidennya, rakyat selalu harus rela antre untuk mencari bahan
bakar minyak. Siapapun gubernur di ibukota, macet dan banjir adalah penyakit
akut yang entah kapan akan musnah dari kehidupan keseharian warga kota. Masih
tingginya tingkat kriminalitas yang dilakukan masyarakat dengan alasan demi
memenuhi kebutuhan hidupnya. Masih rendahnya kesempatan masyarakat dalam
mendapatkan pendidikan. Kenyataannya biaya pendidikan yang dirasa semakin mahal
saja sehingga akan menghambat masyarakat untuk mendapatkan pendidikan terutama
bagi masyarakat bawah. Penderita gizi buruk dan busung lapar pun masih kerap
menghantui masyarakat Indonesia karena minimnya biaya hidup mereka dalam
memenuhi kebutuhan hidupnya. Melihat kenyataan yang seperti itu, sangat
memprihatinkan sekali dan sampai saat ini belum ada tindakan yang nayat dari
para pemimpin-pemimpin kita. Mereka malah asyik mempertontonkan kebolehan
mereka dalam menyampaikan janji-janji belaka. Kepemimpinan yang ada hanya sibuk
membangun benteng kekuasaan dengan permainan citra. Semua masalah bangsa
diselesaikan dengan retorika dan janji-janji, lewat iklan di media massa, atau
setidaknya dengan kata “akan” lewat statemen di forum kenegaraan. Dengan
mendasarkan kata “akan” itu seolah-olah semua permasalahan sudah dapat
terselesaikan. Kenyataannya belum ada usaha dan tindakan nyata dari mereka
untuk mewujudkan janji-janji mereka saat kampanye. Tak heran jika akhirnya
masalah-masalah yang membelit bangsa ini jadi bertumpuk dan tidak pernah
diselesaikan.
Lalu seperti apakah sosok pemimpin yang sebenarnya ada
di Indonesia yang dapat membawa bangsa Indonesia ke masa kejayaan dan
kemerdekaan dalam arti yang sesungguhnya? Untuk menjawab pertanyaan tersebut
dibutuhkan adanya suatu proses. Bangsa Indonesia ini memerlukan pemimpin baru.
Pemimpin yang menjadi problem solver. Pemimpin seperti ini tentu lahir dari
generasi baru. Bukan dari generasi lawas pewaris kepemimpinan pola lama. Bukan
juga berasal dari individu yang terlibat dan menyangga kepemimpinan masa lalu.
Dibutuhkan seorang pemimpin yang amanah, visioner, berani, jujur dengan
cita-cita perjuangan, memiliki komitmen dan keteguhan terhadap ideologi dan
cita-cita perjuangan, serta sabar dalam berjuang. Sosok pemimpin itu seharusnya
bertindak tidak harus menunggu protes dari masyarakatnya, tetapi dia mempunyai
inisiatif tersendiri dalam bertindak dan mengambil suatu keputusan yang
terbaik. Dia memiliki sikap empati yang dalam terhadap masyarakat yang
dipimpinnya.
3.
Perguruan tinggi
Perguruan-perguruan tinggi di Indonesia perlu
melakukan kerjasama internasional dengan universitas di luar negeri Selain
bertujuan untuk meningkatkan kualitas, hal itu juga demi daya saing. Sampai
saat ini, belum ada lembaga pendidikan di Indonesia yang masuk dalam kategori
200 universitas terbaik dunia versi lembaga pemeringkat ternama The Times
Higher Education-QS World University (The-QS World University).
Sementara itu, Global Competitiveness Report
2009/2010, yang antara lain menilai tingkat persaingan global suatu negara dari
kualitas pendidikan tingginya, pun cuma menempatkan Indonesia di peringkat
ke-54 dari 133 negara, yaitu di bawah Singapura (3), Malaysia (24), Cina
(29),Thailand (36), serta India (49). Di sisi lain, Badan Pusat Statistik (BPS)
mengungkapkan, jumlah sarjana yang belum bekerja per Februari 2009 hampir
mencapai 13% dari total jumlah penganggur, atau sekitar 1,2 juta orang.
Masalah pendidikan di Indonesia hingga kini masih
menjadi perdebatan yang cukup sengit, baik di kalangan akademisi maupun
kalangan politisi. Perdebatan yang berujung pada cita-cita untuk menapai hasil
yang berkualitas tersebut seringkali melupakan bahwa prestasi bukanlah
segala-galanya dalam proses pendidikan.
Dalam sebuah perguruan tinggi misalnya, banyak hal
yang seharusnya dibenahi dan diperbaharui, dimana perguruan tinggi merupakan
perusahaan penghasil prodak sarjana yang akan melakukan aktifitas kehidupan
yang lebih dan bermutu dengan perpaduan antara potensi manusia tersebut dengan
sains serta pengetahuan yang diperoleh di perguruan tinggi. Kegagalan
menghasilkan sarjana yang tidak berbobot semestinya menjadi mimpi buruk yang
menghancurkan masa depan, atau bila perlu dijadikan sebagai hantu yang mampu
membunuh manusia yang tidak memiliki potensi keimanan, artinya manusia akan
mati sendiri tanpa harus di bunuh oleh hantu, hanya karena manusia itu tidak mampu
melawan rasa takutnya terhadap hantu.
Seperti yang kita ketahui bahwa, zaman semakin
berkembang dengan pesat, dan hal Ini tentunya membutuhkan suatu pendidikan yang
lebih maju dan bermutu pula, bagaimana hal tersebut dapat kita sikapi, tentunya
paling tidak mengharuskan pendidikan untuk menyesuaikan langkahnya dengan
perkembangan zaman, jika ingin tetap relevan, seperti menyesuaikan dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam segala bidang. Menurut
Sayidiman Suryohadiprojo, inti persoalan pendidikan adalah pertama kepemimpinan
bangsa, baik dari tingkat pusat hingga tingkat lokal (daerah), yang harus
menyadari bahwa pendidikan adalah investasi utama masa depan suatu bangsa.
Tanpa pendidikan yang baik, maka masa depan bangsa tersebut akan celaka. Inilah
problem yang sedang dihadapi Bangsa Indonesia akibat masa lampau, dimana
Indonesia di jajah oleh Belanda lebih dari tiga decade (tiga Abad), kisaran
waktu selama 350 tahun telah terjadinya pembunuhan potensi manusia Indonesia
kurang Lebih tujuh (7) generasi. Hal inilah yang menjadi salah satu faktor
rakyat Indonesia begitu banyak yang menjadi masyarakat miskin dan buta huruf,
dan membutuhkan waktu yang cukup lama untuk memulihkan hal tersebut, namun
Indonesia kini telah bangkit dan mulai bangun dari kebodohan dan buta huruf.
Tantangan masa depan di era globalisasi akan semakin
kuat, dengan tingkat kompetisi. Industrialisasi harus ditempuh pada masa-masa
mendatang untuk mengejar ketinggalan dengan negara-negara maju. Hal ini harus
didukung oleh ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin canggih. Sumber daya
manusia di Indonesia cukup tersedia dari segi kualitas masih dirasa kurang atau
belum memadai. Sember daya manusia yang banyak merupakan modal dasar
pembangunan, namun jika kualitasnya tidak memadai, justru akan menjadi beban
pembangunan nasional. Bukan saja sekedar kurang bisa kompetitif atau memenuhi
tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi juga bisa
menimbulkan pengangguran yang besar yang pada gilirannya menimbulkan kerawanan.
Salah satu upaya meningkatkan kualitas sumber daya
manusia adalah meningkatkan kuantitas dan kualitas pendidikan, terutama bagi
generasi muda. Mungkin perlu upaya terobosan dengan menentukan pendidikan
menjadi prioritas pembangunan “nation dan character”. Kesadaran akan pentingnya
pendidikan harus senantiasa didengungkan dan didorong. Untuk itu perlu ada
kemauan politik semua pihak.
Sub Thema : Menjadi Gerakan Yang
Oikumenis, Nasionalis dan Bertanggungjawab Untuk Mewujudkan Keadilan,
Kesejahteraan Dalam Melaksanakan Tugas dan Panggilannya di Indonesia.
Sub Thema merupakan kerangka opeerasional dalam mewujudkan Thema “Jadilah Teladan dalam Berbuat Baik” (Band
Titus 2; 7a). GMKI, dalam pengejawantahan thema tersebut harus memberikan
teladan dalam penatalayaan gerakan oikumenenisme dan nasionalisme sebagai
konsekuensi dari panggilan dasarnya. sebagai pelopor oikumenisme dan
nasionalisme di Indonesia. Dalam memahami maksud tersebut ada beberapa konsep
penting yang terkandung dalam sub thema GMKI 2012-2014 yang akan dijabarkan
sebagai berikut:
1. Menjadi Gerakan yang
Oikumenis, Nasionalis dan Bertanggungjawab
Pernyataan ini merupakan otokritik
terhadap posisi dan eksistensi GMKI ditengah-tengah Gereja, Perguruan Tinggi
dan Masyarakat di Indonesia sekaligus mengarahkan GMKI untuk kembali pada
nilai-nilai dasarnya. Sub thema juga merupakan penuntun operasional perjalanan
GMKI dalam mencapai thema “Jadilah Teladan Dalam Berbuat Baik”. Untuk memahami
maksud tersebut, maka perlu didukung dengan pemahaman kader secara menyeluruh
terhadap motivasi pokok GMKI (oikumenisme dan nasionalisme).
Oikumene. Kata oikumene berasal dari bahasa yunani yang terdiri dari
dua suku kata yakni oikos dan mein. Oikos yang berarti rumah/tempat sedangkan mein berarti mendiami. Dengan demikian oikumene berarti tempat yang
didiami atau rumah yang didiami. Dari
maksud tersebut, menuntut GMKI untuk terus mendorong agar dunia menjadi tempat
semua orang termasuk didalamnya semua ciptaan Tuhan.
Secara historis, kedirian GMKI dipengaruhi oleh nilai-nilai oikumene
dan menjadikan GMKI sebagai bagian dari gerakan oikumene Global, namun dalam
realistas saat ini, spirit ini mengalami erosi sehingga penggalan sub thema ini
mengarahkan organisasi untuk berrefleksi
serta kembali pada motivasi pokoknya sebagai gerakan oikumenisme nasionalisme
yang ada di Indonesia.
Dari aspek Historis, gerakan
oikumenisme dipengaruhi oleh dikotomi yang terjadi dalam gereja pada awal abad 18 dan pertengahan abad 19 Sejak 1895
kaum Muda Eropa dan Amerika memproklamirkan WSCF dengan mengusung Motto Ut Omnes Unum Sint di Witemberg Swedia dan pada kurun waktu 1916-1924 sebagai periode pertama
gerakan evangelisasi pada kalangan pelajar dan mahasiswa di Indonesia melalui
tokoh-tokoh Zending seperti A.A.L. Rutgers, M. Adriani, C.W.Th Van Beetzelaer
dan Dr. H. van Andel yang memikirkan cara-cara yang terbaik untuk membina
pelajar dan mahasiswa di pulau Jawa, kemuadian spirit dan nilai tersebut
berkembang hingga saat ini. nilai-nilai inilah kemudian terinternalisasi dan
mendorong proses pembentukan GMKI pada
tanggal 09 Februari 1950.( baca GMKI).
Dalam upaya untuk mengembalikan GMKI pada gerakan oikumenisme yang
sesungguhnya, diharapkan agar GMKI tidak terjebak dalam tembok-tembok
primordialisme etnis dalam gereja, institusinalisme, paternalisme, mamonisme
dan ritualisme gereja sehingga GMKI dapat menjadi tempat yang aman dan damai
bagi semua orang serta pelayanan GMKI dapat menjadi berkat bagi semua orang.
Disisi lain, Indonesia
mempunyai pondasi semangat kebangsaan yang kuat di tengah realitas kebhinekaan.
Hal ini bisa dilihat dari sejarah pendirian negara-bangsa Indonesia yang
diperoleh dari penyatuan kedaulatan kebangsaan-kebangsaan kecil di daerah. Oleh
karena itu, adanya pengakuan terhadap keberadaan entitas masyarakat daerah dan
upaya penyatuan yang dipelopori oleh kaum mudah termasuk didalamnya tokoh-tokoh
GMKI seperti dr. Johanes Leimena dan Mr Amir Syarifudin melalui gerakan sumpah pemuda yang menjadi
rujukan nasionalime kaum muda Indonesia.
Sumpah yang mengubah Indonesia menjadi Negara Merdeka tersebut,
merupakan gambaran historis dari keterlibatan GMKI dalam membangun nasionalisme
Indonesia hingga saat ini. untuk memperkuat gerakan nasionalisme Indonesia,
maka pada momentum Kongres ke XXXIII di Manado mengarahkan GMKI agar kembali
pada semangat dasarnya, tentunya amanat ini memiliki landasan yang kuat dan
berdasarkan analisa bahwa keterlibatan GMKI dalam membangun nasionalisme terasa
kurang atau belum maksimal. Sehingga, Sub Thema ini dimaksudkan untuk
mengarahkan dan mendorong setiap anasir GMKI untuk tetap konsisten membangun
kembali nasionalisme Indonesia.
2. Mewujudkan Keadilan dan
Kesejahteraan
Keadilan dapat didefenisikan sebagai suatu kondisi dimana adanya
keseimbangan antara hak dan kewajiban dari setiap individu, kelompok,
masyarakat secara umum. Namun realitas saat ini, menggambarkan situasi yang
berbeda, keadilan menjadi barang yang mahal bagi setiap orang/masyarakat.
Potret ketidakadilan terjadi dimana-mana dan pada semua level masyarakat.
Sedangkan Kesejahteraan dapat didefenisikan sebagai terpenuhinya
seluruh kebutuhan manusia. sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan dll.
Keadilan dan kesejahteraan merupakan cita-cita GMKI yang selalu diperjuangkan
dalam setiap masa pelayanan GMKI. Kedua konsep ini tidak berdiri secara
terpisah melainkan memiliki keterkaitan satu sama lain. Karena tidak ada
kesejahteraan tanpa keadilan dan keadilan tanpa kesejahteraan. Bertolak dari maksud tersebut menuntut GMKI
untuk selalu konsisten dalam memperjuangkannya dan dari setiap perjalanan GMKI,
sehingga keadilan dan kesejahteraan merupakan konsep-konsep penting yang selalu
didiskusikan oleh kader-kader GMKI hingga pada kongres ke XXXIII di Manado.
tindakan tersebut merupakan tindakan yang positif bagi internalisasi nilai-nilai
keadilan dan kesejahteran agar nilai tersebut dapat menjadi acuan keteladan
dalam pengembangan organisasi karena, upaya untuk mewujudkan keadilan dan
kesejahteraan, merupakan bagian dari suatu keteladan yang harus dilakukan oleh
semua civitas organisasi.
3. Melaksanakan Tugas dan
Panggilannya (GMKI) di Indonesia
Melakasanakan Tugas dan panggilannya di Indonesia adalah suatu upaya
yang harus dilakukan secara terencana dan sistematis serta selalu dilakukan
oleh GMKI pada setiap masa pelayanan. Untuk mengoperasionalkan maksud ini,
setiap kita ditiuntut untuk memahami apa yang menjadi Tugas dan panggilan GMKI
di Indonesia. Yang menjadi Tugas GMKI adalah:
a)
Berdoa atau beribadat. Dalam
setiap aktifitas kader dan organisasi, Berdoa atau beribadat menjadi sarana untuk
membangun spiritualitas karena, melalui doa ada kekuatan atau energy yang besar
untuk menghadapi setiap persoalan dan tantangan.
b)
Belajar. Belajar adalah proses
untuk membebaskan manusia dari keterasinganya sehingga menjadi manusia yang
seutuhnya, dengan belajar juga dapat menyelesaikan seluruh problematikanya,
organisasi dan juga sebagai proses untuk menyelesaikan seluruh permasalahan
yang dihadapi oleh Gereja, perguruan tinggi dan masyarakat.
c)
Bersekutu. Sebagai gereja yang
fungsional tentunya kehidupan GMKI harus dilandasi dengan persekutuan, karena
dengan persekutuan kita dapat menjadi manusia baru yang dipangil dari kegelapan
kepada untuk melihat terang. ,
d)
Bersosial. Sebagai bagian dari
makluk sosial dan kelompok sosial, GMKI harus memberi perhatiannya pada
lingkungan sosial disekitar, dan turut terlibat dalam meresponi masalah-masalah
sosial tersebut sebab, dengan demikian GMKI dapat menjadi berarti bagi orang
lain.
e)
Berekreasi. Berrekreasi adalah
suatu upaya untuk memperbaharui terhadap suatu kreatifitas yang sudah dilakukan
oleh GMKI. Dari beberapa gambaran terhadap Tugas ini, dapat menjadi acuan untuk
menjadi Gerakan yang oikumenis dan nasionalis di Indonesia dan melakukan tugas
ini, merupakan suatu upaya konkrit untuk mewujudkan teladan dalam berbuat
baik.
Sedangkan panggilan GMKI dapat diartikan sebagai Misi dan motivasi
pokok yang melatari terbentunya GMKI. Misi secara umum dapat diartikan sebagai
pengutusan seseorang oleh pihak tertentu untuk melaksanakan sesuatu hal demi
kepentingan orang lain. Misi meliputi 3 pihak: pengutus, utusan, dan alamat
pengutusan. Utusan bekerja berdasarkan tugas yang diterimanya, dan pekerjaannya
itu tidak dimaksudkan untuk kepentingan dirinya sendiri atau kepentingan sang
pemberi tugas melainkan untuk kebaikan mereka yang menjadi tujuan pengutusan.
Dalam konteks Kristen, Allah adalah pengutus yang mengirim manusia (orang
Kristen/gereja) untuk melaksanakan perintah Ilahi, yakni untuk mengabarkan
kabar baik bahwa Kerajaan Allah kepada semua manusia dan segenap semesta.
Pandangan ini bila dikontekskan dengan GMKI, maka sebagai mana
tergambar dalam Anggaran Dasar GMKI Pasal 3.
a) Mengajak
mahasiswa dan warga perguruan tinggi lainnya kepada pengenalan akan Yesus
Kristus selaku Tuhan dan Penebus dan memperdalam iman dalam kehidupan dan
pekerjaan sehari-hari;
b) Membina
kesadaran selaku warga gereja yang esa di tengah-tengah mahasiswa dan perguruan
tinggi dalam kesaksian memperbaharui masyarakat, manusia dan gereja;
c) Mempersiapkan
pemimpin dan penggerak yang ahli dan bertanggung jawab dengan menjalankan
panggilan di tengah-tengah masyarakat, negara, gereja, perguruan tinggi dan
mahasiswa, dan menjadi sarana bagi terwujudnya kesejahteraan, perdamaian,
keadilan, kebenaran, dan cinta kasih di tengah-tengah manusia dan alam semesta.
Penutup
Dari gambaran diatas, bila dilakukan secara baik dan terus menerus,
maka kita akan menjadi teladan dalam berbuat baik sebagaimana thema kita. Thema
dan sub thema merupakan landasan yang dapat menuntun perjalanan GMKI Selama
2012-2014. Yakinlah bahwa Kristus akan menolang kita dalam setiap tantangan
yang kita hadapi.
Ut Omnes Unum
Sint
Comments
Post a Comment