Desak Pemutusan Impunitas Pelaku Kekerasan terhadap Perempuan



Data dan analisis kekerasan terhadap perempuan pada tahun 2014 yang telah diterbitkan oleh Komnas Perempuan pada 6 Maret 2015 menunjukkan situasi darurat kekerasan terhadap perempuan, terutama darurat kekerasan seksual. Data yang dimuat dalam Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan tahun 2014 bersumber dari sejumlah 191 lembaga-lembaga pengada layanan yang tersebar di seluruh provinsi di wilayah Indonesia (28% dari total 664 lembaga layanan yang dikirimi formulir pendataan serta pengaduan langsung ke Komnas Perempuan). Gambaran yang kita peroleh dengan data tersebut, dari perbandingan pada tahun 2013 jumlah kekerasan terhadap perempuan berjumlah 279.688 dan meningkat pada tahun 2014 menjadi 293.220. Temuan dasar dan general berupa kasus-kasus yang terpencar di beberapa bagian wilayah Indonesia, pengaduan-pengaduan yang datang ke Komnas Perempuan, dan catatan dan keputusan-keputusan pengadilan.
Kekerasan terhadap perempuan masih mengalami peningkatan dikarenakan wacana tentang keadilan untuk perempuan belum secara utuh dipahami oleh seluruh masyarakat. Kesenjangan yang terjadi, tidak hanya berasal dari budaya patriarki yang lebih memiliki kuasa adalah laki-laki atau sebagai penerus keturunan, namun juga dari pola pikir masyarakat yang melihat perempuan adalah sebuah objek, atau penyalahan terhadap pola hidup perempuan seperti ketika menggunakan pakaian yang tidak pantas dikategorikan ‘perempuan penggoda’. Stigma yang sudah melekat dalam pemikiran masyarakat sudah seperti sebuah fenomena bongkahan gunung es ~(kode keras)
Tentu saja kita tidak dapat menyalahkan perempuan secara utuh, namun sejumlah faktor yang menjadi kendala adalah keterbatasan sumber daya manusia, dana yang kurang, dukungan dari masyarakat dalam sudut ruang budaya, agama, perekonomian, sosial dan langkanya dukungan serta fasilitas dari pihak pemerintah.
Kerentanan yang dialami dalam kehidupan perempuan dari berbagai sector baik domestik maupun public dapat kita lihat dengan jelas dengan terjadinya kekerasan atau lebih sering kita dengar dengan sebutan kekerasan terhadap perempuan. Dalam ranah budaya, kita dapat melihat bahwa terjadinya penurunan makna budaya lama yang ada di Indonesia. Ada orang atau komunitas yang menyatakan bahwa perempuan merupakan kelas yang diurutkan dalam urutan dibawah laki-laki, namun pada awalnya budaya tersebut dipakai sebagai penghargaan terhadap perempuan, seperti yang kita kenal dengan ‘mahar’, ‘mas kawin’, ‘belis’ atau penyebutan tertentu dalam meminang perempuan, sehingga terkadang penyalah artian bahwa alat tersebut merupakan alat transaksi jual beli dan perempuan tersebut dianggap sebagai objek yang dapat dipakai sesuka hati laki-laki. Dalam konstruksi agama saat ini, sudah mulai ada pengkajian atau pentafsiran kembali perspektif gender.
Negara tentu saja memiliki peran untuk menangani, mencegah bahkan memulihkan kekerasan tersebut. Namun sangat disayangkan juga kekerasan terhadap perempuan kerap juga dilakukan oleh pejabat Negara tersebut. Dalam CATAHU Komnas Perempuan juga disebutkan ada 2 anggota DPR RI dan 3 anggota DPRD yang dilaporkan telah melakukan tindak kekerasan terhadap perempuan. Pengaduan-pengaduan namun cenderung perempuan diposisikan sebagai pihak yang dipersalahkan. Hal ini juga dapat membuat suatu kekebalan hokum bagi pelaku kekerasan dan cenderung menutup peluang bagi korban untuk mendapatkan keadilan.
Seharusnya pemerintah dan atau DPR yang membuat Undang-undang yang komprehensif tentang tindak kekerasan tersebut agar pelaku tidak bebas dari jerat hukum karena keterbatasan hokum yang tersedia saat ini. Juga mencabut, atau merevisi peraturan atau kebijakan yang berpeluang untuk mengkriminalisasi perempuan korban atau menjatuhkan sanksi. Tentu saja Negara harusnya memberikan hak-hak korban atas pemulihan kesehatan maupun ekonomi mereka. Dari data keseluruhan Komnas Perempuan menunjukkan situasi darurat kekerasan terhadap perempuan, dapat diperkirakan setiap dua jam terdapat tiga perempuan menjadi korban kekerasan seksual di Indonesia. Faktanya ada 35 perempuan Indonesia menjadi korban kekerasan seksual setiap harinya.
Dalam ruang publik yang pernah dikaji oleh Jürgen Habermas seorang filsuf dan sosiolog dari Jerman melihat bahwa konsep politik, gender dan ruang publik yang selayaknya menurut karyanya The theory of communicative action  dan The struktural transformation memiliki pencerahan untuk para feminis bahwa memang terjadi diskursus dan diperlukan refleksi terhadap politik, moral dan norma-norma sosial. Alat pengklarifikasian yang diperlukan oleh perempuan agar memiliki nilai yang sama, sehingga kekerasan tersebut dapat berkurang.

 
Lisbeth Indriani Simanjuntak

Comments

Popular Posts