Menguak Misteri Kematian Tan Malaka
JAKARTA - Keberadaan makam dan penyebab kematian Sutan Ibrahim atau Datuk Tan Malaka, menjadi polemik selama 30 tahun. Tan Malaka hilang seperti ditelan bumi dan tak tentu rimbanya sejak Februari 1949 silam.
Namun, misteri ini segera terkuak menyusul pembongkaran makam yang diduga berisi jasad Tan Malaka di Desa Selopanggung, Kecamatan Semen, Kediri, Jawa Timur oleh tim forensik RSCM, Sabtu 12 September kemarin, sesuai petunjuk seorang sejarawan Belanda Harry A Poeze.
Harry, menyimpulkan bahwa Tan Malaka ditembak mati pada 21 Februari 1949 atas perintah Letda Soekotjo dari Batalyon Sikatan, Divisi Brawijaya.
Eksekusi ini diawali pada 1949, saat markas Tan Malaka di Pace, Jawa Timur disergap oleh Tentara Republik Indonesia (sekarang TNI). Pasukan ini urung menangkap pria yang tidak meninggalkan keturunan ini, karena ditarik mundur untuk menghalau Belanda yang melakukan penyerangan dari utara. Tan Malaka dan 60 orang pengikutnya dibebaskan.
Tokoh kontroversial ini bersama pengikutnya melarikan diri ke selatan Jawa Timur. Namun dalam perjalanan, mereka ditembaki oleh sekelompok bersenjata. Tan Malaka selanjutnya membagi rombongan menjadi empat kelompok. Dirinya dan empat orang pengikutnya pergi ke kawasan Tulung Agung, mengharapkan masih ada batalyon tentara di sana yang masih bersimpati pada mereka. Setelah dua hari berjalan, mereka tiba-tiba disergap di suatu desa kecil bernama Selo Panggung. Tan Malaka pun di tembak mati di tempat ini.
Versi Kematian Tan Malaka
Mengungkap misteri sebab kematian pahlawan nasional Tan Malaka, memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Saat melakukan penelitian, sejarawan Belanda Harry A Poeze harus dihadapkan dengan berbagai versi cerita, sedikitnya ada lima versi yang mengungkap kematian Che Guevara-nya Indonesia ini.
"Banyak sekali, bahkan ada tukang bengkel di Surabaya yang mengaku-ngaku sebagai penembak Tan Malaka," jelas Penulis buku "Filosofi Negara Menurut Tan Malaka", Hasan Nasbi.
Namun, dari dari berbagai versi itu, dalam bukunya Harry Poeze menyebut Tan Malaka dibunuh dengan ditembak. Ini adalah versi Sukarna, seorang pengawal Tan�Malaka yang berhasil kabur dari tahanan. Dia sempat menceritakan kembali kepada Jamalludin Tamim, salah satu pengikut Tan Malaka sewaktu di Bangkok.
Sempat pula beredar beredar kabar, Tan Malaka ditembak dan dibuang ke kali Brantas, namun setelah ditelusuri oleh Harry Poeze, ternyata setelah ditembak, Tan Malaka kemudian dikuburkan di Desa Selopanggung, Kecamatan Semen Kediri, Jawa Timur.
Upaya penggalian makam Tan Malaka pun sejatinya sudah dimulai sejak Peringatan 112 tahun kelahirannya serta 60 tahun hilangnya Tan Malaka awal tahun ini. Rencananya, keponakan Tan Malaka, Zulfikar Kamarudin, yang akan memimpin langsung tim untuk membongkar makam yang ditemukan oleh Harry A Poeze ini pada 12 Maret lalu, namun karena terkendala proses administrasi, proses penggalian ini gagal.
Sekadar diketahui, Tan Malaka merupakan salah satu pejuang revolusioner beraliran kiri nasionalis. Dia lahir di Pandan Gadang, Suliki, Sumatera Barat, pada 2 Juni 1897. Selama hidupnya dia pernah aktif di Partai Komunis Indonesia dan menjabat wakil Komintern di Asia yang berkedudukan di Canton. Pendiri partai Murba ini kemudian ditetapkan sebagai pahlawan kemerdekaan Nasional berdasarkan keputusan Presiden RI No. 53, yang ditandatangani Presiden Sukarno pada 28 Maret 1963. Sayang, pada Era pemerintahan Suharto, nama Tan Malaka terkesan dilupakan atau bahkan sengaja dibedakan dengan pahlawan nasional lainnya.(mir)�
(ded)
==========
Tan Malaka atau Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka (lahir di Nagari Pandam Gadang,Suliki, Sumatera Barat, 2 Juni 1897 – meninggal di Desa Selopanggung, Kediri, Jawa Timur,21 Februari 1949 pada umur 51 tahun)[1] adalah Bapak Republik Indonesia,[2] seorang aktivis pejuang kemerdekaan Indonesia, seorang pemimpin sosialis, dan politisi yang mendirikanPartai Murba. Pejuang yang militan, radikal, dan revolusioner ini banyak melahirkan pemikiran-pemikiran yang berbobot dan berperan besar dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Dengan perjuangan yang gigih maka ia dikenal sebagai tokoh revolusioner yang legendaris.
Dia kukuh mengkritik terhadap pemerintah kolonial Hindia-Belanda maupun pemerintahan republik di bawah Soekarno pasca-revolusi kemerdekaan Indonesia. Walaupun berpandangan sosialis, ia juga sering terlibat konflik dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Tan Malaka menghabiskan sebagian besar hidupnya dalam pembuangan di luar Indonesia, dan secara tak henti-hentinya terancam dengan penahanan oleh penguasa Belanda dan sekutu-sekutu mereka. Walaupun secara jelas disingkirkan, Tan Malaka dapat memainkan peran intelektual penting dalam membangun jaringan gerakan sosialis internasional untuk gerakan anti penjajahan di Asia Tenggara. Ia dinyatakan sebagai pahlawan nasional melalui Ketetapan Presiden RI No. 53 tanggal 23 Maret 1963.[3]
Tan Malaka juga seorang pendiri partai PARI dan Murba, berasal dari Sarekat Islam (SI) Jakarta dan Semarang. Ia dibesarkan dalam suasana semangatnya gerakan modernis Islam Kaoem Moeda di Sumatera Barat.
Tokoh ini diduga kuat sebagai orang di belakang peristiwa penculikan Sutan Sjahrir bulan Juni 1946 oleh sekelompok orang tak dikenal di Surakarta sebagai akibat perbedaan pandangan perjuangan dalam menghadapi Belanda.[4]
====
Riwayat
- Tahun 1897, Tan Malaka lahir di Suliki, Sumatera Barat. Dia lahir di tengah-tengah lingkungan Minangkabau, dari pasangan Rasad Caniago dan Sinah Simabur.
- Saat berumur 16 tahun, 1913, setelah tamat Kweekschool Bukit Tinggi, atas bantuan gurunya dengan pinjaman biaya dari Engkufonds, meneruskan pelajarannya ke Rijks Kweekschool di Haarlem, Belanda.
- Tahun 1919 ia kembali ke Indonesia dan bekerja sebagai guru disebuah perkebunan di Deli. Ketimpangan sosial yang dilihatnya di lingkungan perkebunan, antara kaum buruh dan tuan tanah menimbulkan semangat radikal pada diri Tan Malaka muda.
- Tahun 1921, ia pergi ke Semarang dan bertemu dengan Semaun dan mulai terjun ke kancah politik
- Saat kongres PKI 24-25 Desember 1921, Tan Malaka di undang dalam acara tersebut.
- Januari 1922 ia ditangkap dan dibuang ke Kupang.
- Pada Maret 1922 Tan Malaka diusir dari Indonesia dan mengembara ke Berlin, Moskwa dan Belanda.
- Mewakili Indonesia dalam Kongres Komunis Internasional (Komintern) IV, kemudian diangkat sebagai Wakil Komintern di Asia dan berkedudukan di Kanton.
- Tahun 1924, diangkat sebagai Ketua Biro Buruh Lalu Lintas dalam sebuah Konferensi Pan-Pasifik yang diselenggarakan oleh utusan-utusan Komintern dan Provintern.
- Tahun 1924, menerbitkan buku "Naar de Republiek Indonesia" (Menuju Republik Indonesia) yang berisi konsep tentang negara Indonesia yang tengah diperjuangkan. Lebih dulu dari pleidoi Mohammad Hatta didepan pengadilan Belanda di Den Haag yang berjudul "Indonesia Vrije" (Indonesia Merdeka) (1928) atau tulisan Soekarno yang berjudul "Menuju Indonesia Merdeka" (1933)
- Tahun 1925, masuk Filipina dengan nama Elias Fuentes dan berhasil menghubungi salah seorang sahabat Semaun di sana, selanjutnya mendorong didirikannya Partai Komunis Filipina.
- Tahun 1926, masuk Singapura dengan nama Hasan Gozali, bertemu dengan Subakat, Sugono dan Djamaluddin Tamim yang berhasil meloloskan diri dari Indonesia.
- Tahun 1927, bersama Subakat, Sugono, dan Djamaluddin Tamim mendirikan PARI (Partai Republik Indonesia).
- Tahun 1932, berhasil masuk Hongkong dengan nama Ong Soong Lee, kemudian tertangkap oleh Polisi Rahasia Inggris. Setelah lebih kurang 2 ½ bulan ditahan dalam penjara Hongkong, Tan Malaka mendapat keputusan dikeluarkan ke Shanghai.
- Tahun 1936, mendirikan dan mengajar pada School for Foreign Languages di Amoy, Cina.
- Tahun 1937, Tan Malaka masuk Burma kemudian ke Singapura, bekerja sebagai guru bahasa Inggris di Sekolah Menengah Tinggi Singapura.
- Tahun 1942, Tan Malaka masuk Penang menuju Medan, Padang, dan akhirnya tiba di Jakarta.
- Tahun 1943, menulis buku dan menyusun kekuatan bawah tanah (ilegal), dengan menjadi buruh (romusha) pada tambang batu bara di Bayah (Banten) dengan nama Husein.
- Tahun 1945, mendorong para pemuda yang bekerja di bawah tanah pada masa pendudukan Jepang (Sukarni, Chairul Saleh, Adam Malik, Pandu Kartawiguna, Maruto, dan lain-lain) untuk mencetuskan revolusi yang kemudian terjadi dengan Proklamasi Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.
- Tahun 1946, menjadi promotor Persatuan Perjuangan yang mengikatkan persatuan antara sejumlah 141 organisasi terdiri dari pimpinan partai, serikat-serikat buruh, pemuda, wanita, tentara, dan laskar.
- Tahun 1947, menentang politik Perundingan Linggarjati.
- Tahun 1948, menentang politik Perundingan Renville. Mendirikan Partai Murba dan Gerilya Pembela Proklamasi.
- 21 Februari 1949, Tan Malaka mati terbunuh di Kediri, Jawa Timur.[1]
[sunting]Perjuangan
Pada tahun 1921 Tan Malaka telah terjun ke dalam gelanggang politik. Dengan semangat yang berkobar dari sebuah gubuk miskin, Tan Malaka banyak mengumpulkan pemuda-pemuda komunis. Pemuda cerdas ini banyak juga berdiskusi dengan Semaun (wakil ISDV) mengenai pergerakan revolusioner dalam pemerintahan Hindia Belanda. Selain itu juga merencanakan suatu pengorganisasian dalam bentuk pendidikan bagi anggota-anggota PKI dan SI (Sarekat Islam) untuk menyusun suatu sistem tentang kursus-kursus kader serta ajaran-ajaran komunis, gerakan-gerakan aksi komunis, keahlian berbicara, jurnalistik dan keahlian memimpin rakyat. Namun pemerintahan Belanda melarang pembentukan kursus-kursus semacam itu sehingga mengambil tindakan tegas bagi pesertanya.
Melihat hal itu Tan Malaka mempunyai niat untuk mendirikan sekolah-sekolah sebagai anak-anak anggota SI untuk penciptaan kader-kader baru. Juga dengan alasan pertama: memberi banyak jalan (kepada para murid) untuk mendapatkan mata pencaharian di dunia kapitalis (berhitung, menulis, membaca, ilmu bumi, bahasa Belanda, Melayu, Jawa dan lain-lain); kedua, memberikan kebebasan kepada murid untuk mengikuti kegemaran mereka dalam bentuk perkumpulan-perkumpulan; ketiga, untuk memperbaiki nasib kaum miskin. Untuk mendirikan sekolah itu, ruang rapat SI Semarang diubah menjadi sekolah. Dan sekolah itu bertumbuh sangat cepat hingga sekolah itu semakin lama semakin besar.
Perjuangan Tan Malaka tidaklah hanya sebatas pada usaha mencerdaskan rakyat Indonesia pada saat itu, tapi juga pada gerakan-gerakan dalam melawan ketidakadilan seperti yang dilakukan para buruh terhadap pemerintahan Hindia Belanda lewat VSTP dan aksi-aksi pemogokan, disertai selebaran-selebaran sebagai alat propaganda yang ditujukan kepada rakyat agar rakyat dapat melihat adanya ketidakadilan yang diterima oleh kaum buruh.
Seperti dikatakan Tan Malaka pada pidatonya di depan para buruh “Semua gerakan buruh untuk mengeluarkan suatu pemogokan umum sebagai pernyataan simpati, apabila nanti menglami kegagalan maka pegawai yang akan diberhentikan akan didorongnya untuk berjuang dengan gigih dalam pergerakan revolusioner”.
Pergulatan Tan Malaka dengan partai komunis di dunia sangatlah jelas. Ia tidak hanya mempunyai hak untuk memberi usul-usul dan dan mengadakan kritik tetapi juga hak untuk mengucapkan vetonya atas aksi-aksi yang dilakukan partai komunis di daerah kerjanya. Tan Malaka juga harus mengadakan pengawasan supaya anggaran dasar, program dan taktik dari Komintern (Komunis Internasional) dan Profintern seperti yang telah ditentukan di kongres-kongres Moskwa diikuti oleh kaum komunis dunia. Dengan demikian tanggung-jawabnya sebagai wakil Komintern lebih berat dari keanggotaannya di PKI.
Sebagai seorang pemimpin yang masih sangat muda ia meletakkan tanggung jawab yang sangat berat pada pundaknya. Tan Malaka dan sebagian kawan-kawannya memisahkan diri dan kemudian memutuskan hubungan dengan PKI, Sardjono-Alimin-Musso.
Pemberontakan 1926 yang direkayasa dari Keputusan Prambanan yang berakibat bunuh diri bagi perjuangan nasional rakyat Indonesia melawan penjajah waktu itu. Pemberontakan 1926 hanya merupakan gejolak kerusuhan dan keributan kecil di beberapa daerah di Indonesia. Maka dengan mudah dalam waktu singkat pihak penjajah Belanda dapat mengakhirinya. Akibatnya ribuan pejuang politik ditangkap dan ditahan. Ada yang disiksa, ada yang dibunuh dan banyak yang dibuang ke Boven Digoel, Irian Jaya. Peristiwa ini dijadikan dalih oleh Belanda untuk menangkap, menahan dan membuang setiap orang yang melawan mereka, sekalipun bukan PKI. Maka perjaungan nasional mendapat pukulan yang sangat berat dan mengalami kemunduran besar serta lumpuh selama bertahun-tahun.
Tan Malaka yang berada di luar negeri pada waktu itu, berkumpul dengan beberapa temannya di Bangkok. Di ibu kota Thailand itu, bersama Soebakat dan Djamaludddin Tamin, Juni 1927 Tan Malaka memproklamasikan berdirinya Partai Republik Indonesia (PARI). Dua tahun sebelumnya Tan Malaka telah menulis "Menuju Republik Indonesia". Itu ditunjukkan kepada para pejuang intelektual di Indonesia dan di negeri Belanda. Terbitnya buku itu pertama kali di Kowloon, Hong Kong, April 1925.
Prof. Mohammad Yamin, dalam karya tulisnya "Tan Malaka Bapak Republik Indonesia" memberi komentar: "Tak ubahnya daripada Jefferson Washington merancangkan Republik Amerika Serikat sebelum kemerdekaannya tercapai atau Rizal Bonifacio meramalkan Philippina sebelum revolusi Philippina pecah…."
=====
Madilog merupakan istilah baru dalam cara berpikir, dengan menghubungkan ilmu bukti serta mengembangkan dengan jalan dan metode yang sesuai dengan akar dan urat kebudayaan Indonesia sebagai bagian dari kebudayaan dunia. Bukti adalah fakta dan fakta adalah lantainya ilmu bukti. Bagi filsafat, idealisme yang pokok dan pertama adalah budi (mind), kesatuan, pikiran dan penginderaan. Filsafat materialisme menganggap alam, benda dan realita nyata obyektif sekeliling sebagai yang ada, yang pokok dan yang pertama.
Bagi Madilog (Materialisme, Dialektika, Logika) yang pokok dan pertama adalah bukti, walau belum dapat diterangkan secara rasional dan logika tapi jika fakta sebagai landasan ilmu bukti itu ada secara konkrit, sekalipun ilmu pengetahuan secara rasional belum dapat menjelaskannya dan belum dapat menjawab apa, mengapa dan bagaimana.
Semua karya Tan Malaka dan permasalahannya didasari oleh kondisi Indonesia. Terutama rakyat Indonesia, situasi dan kondisi nusantara serta kebudayaan, sejarah lalu diakhiri dengan bagaimana mengarahkan pemecahan masalahnya. Cara tradisi nyata bangsa Indonesia dengan latar belakang sejarahnya bukanlah cara berpikir yang teoritis dan untuk mencapai Republik Indonesia sudah dia cetuskan sejak tahun 1925 lewat Naar de Republiek Indonesia.
Jika membaca karya-karya Tan Malaka yang meliputi semua bidang kemasyarakatan, kenegaraan, politik, ekonomi, sosial, kebudayaan sampai kemiliteran (Gerpolek-Gerilya-Politik dan Ekonomi, 1948), maka akan ditemukan benang putih keilmiahan dan ke-Indonesia-an serta benang merah kemandirian, sikap konsisten yang jelas dalam gagasan-gagasan serta perjuangannya.
=====
Peristiwa 3 Juli 1946 yang didahului dengan penangkapan dan penahanan Tan Malaka bersama pimpinan Persatuan Perjuangan, di dalam penjara tanpa pernah diadili selama dua setengah tahun. Setelah meletus pemberontakan FDR/PKI di Madiun, September 1948 dengan pimpinan Musso dan Amir Syarifuddin, Tan Malaka dikeluarkan begitu saja dari penjara akibat peristiwa itu.
Di luar, setelah mengevaluasi situasi yang amat parah bagi Republik Indonesia akibat Perjanjian Linggajati 1947 dan Renville 1948, yang merupakan buah dari hasil diplomasi Sutan Syahrir dan Perdana Menteri Amir Syarifuddin, Tan Malaka merintis pembentukanPartai Murba, 7 November 1948 di Yogyakarta.
Pada tahun 1949 tepatnya bulan Februari Tan Malaka hilang tak tentu rimbanya, mati tak tentu kuburnya di tengah-tengah perjuangan bersama Gerilya Pembela Proklamasi di Pethok, Kediri, Jawa Timur. Tapi akhirnya misteri tersebut terungkap juga dari penuturan Harry A. Poeze, seorang Sejarawan Belanda yang menyebutkan bahwa Tan Malaka ditembak mati pada tanggal 21 Februari 1949 atas perintah Letda Soekotjo dari Batalyon Sikatan, Divisi Brawijaya[1].
Direktur Penerbitan Institut Kerajaan Belanda untuk Studi Karibia dan Asia Tenggara atau KITLV, Harry A Poeze kembali merilis hasil penelitiannya, bahwa Tan Malaka ditembak pasukan TNI di lereng Gunung Wilis, tepatnya di Desa Selopanggung, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri pada 21 Februari 1949.
Namun berdasarkan keputusan Presiden RI No. 53, yang ditandatangani Presiden Soekarno 28 Maret 1963 menetapkan bahwa Tan Malaka adalah seorang pahlawan kemerdekaan Nasional.
=====
Dengan julukan Patjar Merah Indonesia Tan Malaka merupakan tokoh utama beberapa roman picisan yang terbit di Medan. Roman-roman tersebut mengisahkan petualangan Patjar Merah, seorang aktivis politik yang memperjuangkan kemerdekaan Tanah Air-nya, Indonesia, dari kolonialisme Belanda. Karena kegiatannya itu, ia harus melarikan diri dari Indonesia dan menjadi buruan polisi rahasia internasional.
Salah satu roman Patjar Merah yang terkenal adalah roman karangan Matu Mona yang berjudul Spionnage-Dienst (Patjar Merah Indonesia). Nama Pacar Merah sendiri berasal dari karya Baronesse Orczy yang berjudul Scarlet Pimpernel, yang berkisah tentang pahlawan Revolusi Prancis.
Dalam cerita-cerita tersebut selain Tan Malaka muncul juga tokoh-tokoh PKI dan PARI lainnya, yaitu Muso (sebagai Paul Mussotte), Alimin (Ivan Alminsky), Semaun (Semounoff), Darsono (Darsnoff), Djamaluddin Tamin (Djalumin) dan Soebakat (Soe Beng Kiat).
Kisah-kisah fiksi ini turut memperkuat legenda Tan Malaka di Indonesia, terutama di Sumatera.
Beberapa judul kisah Patjar Merah:
- Matu Mona. Spionnage-Dienst (Patjar Merah Indonesia). Medan (1938)
- Matu Mona. Rol Patjar Merah Indonesia cs. Medan (1938)
- Emnast. Tan Malaka di Medan. Medan (1940)
- Tiga kali Patjar Merah Datang Membela (1940)
- Patjar Merah Kembali ke Tanah Air (1940)
====
Dalam sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) beberapa tokoh Indonesia diberi kesempatan untuk menyampaikan pidato. Mereka diminta juga untuk mengemukakan landasan — yang disebut berkali-kali oleh Soekarno sebagai weltanschauung (dari bahasa Jerman, yang berarti “pandangan hidup”) — yang menjadi dasar bagi negara Indonesia. Soekarno mendapat giliran berpidato tanggal 1 Juni 1945. Setelah menyampaikan pidato yang bersejarah itu, Pancasila terpilih secara aklamasi sebagai dasar negara.
Pancasila sebagai pandangan hidup yang mengedepankan perihal Ketuhanan — dalam berbagai catatan sejarah bangsa Indonesia di masa Orde Baru — diklaim terdistorsi dengan paham komunis yang terkesan kelewat revolusioner dan anti-Tuhan. Beberapa tahun kemudian, ideologi Nasakom (Nasionalis, Agama dan Komunis) yang digagas Soekarno karena hendak memberikan ruang bagi PKI dan komunisme menjadi bumerang bagi pemerintahan Soekarno.
Puncaknya adalah pemberontakan G30S yang di masa Orde Baru disebutkan didalangi PKI. Film penyiksaan dan pembunuhan yang sadis itu membuat siapa pun akan merinding mendengar nama PKI. Tanggal 1 Oktober pun ditetapkan sebagai Hari Kesaktian Pancasila, yang menjadi tanda bahwa Pancasila telah menang atas “kuasa jahat” PKI dan komunisme.
Pemerintahan yang dijalankan oleh Soeharto secara umum berhasil menanamkan suatu ketakutan — dan bahkan kejijikan — terhadap Partai Komunis Indonesia (PKI) dan paham komunisme. Kita yang pernah hidup di masa itu tahu, bahwa segala sesuatu yang berbau dengan komunisme dan PKI haram hukumnya untuk ditelusuri dan dipelajari. Penataran-penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) digelar dalam berbagai institusi. Indoktrinasi yang kaku ini dinilai sebagian kalangan cukup berhasil, walau banyak juga yang menyatakan bahwa sakralitas Pancasila menjadi pudar karenanya.
=====
INILAH.COM, Padang - Pemerintah diharapkan lebih menghargai pahlawan nasional, Tan Malaka. Tan Malaka adalah tokoh yang menggagas kemerdekaan republik ini melalui tulisannya Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia) tahun 1925. Apalagi dulu Soekarno menghargainya.
"Tan Malaka mesti dihargai karena beliau berjuang untuk kemerdekaan republik ini. Beliau tidak dihargai karena dianggap sebagai kelompok kiri. Sebetulnya, Soekarno cukup memberikan perhatian pada Tan Malaka. Di masa Soekarno, Tan Malaka mendapat gelar pahlawan nasional. Hanya saja, ada orang-orang di sekitar Soekarno yang tidak setuju Tan Malaka mendapat apresiasi dari pemerintah. Sementara di zaman Orde Baru ajaran komunis benar-benar diharamkan," kata sejarawan Sumbar Gusti Asnan di Padang, Senin (14/9).
Ketika belum ada yang merumuskan penolakan terhadap penjajahan baik penjajahan secara fisik maupun pemikiran, sejarawan yang menyelesaikan S2 dan S3 bidang sejarah di Universitas Bremen Jerman ini, Tan Malaka telah tampil dengan ide dan gagasannya.
Banyak lagi ide dan gagasan Tan Malaka yang relevan hingga saat ini, tutur dia, yakni tentang ekonomi kerakyatan, dan praktik kapitalisme. Di masa Tan Malaka, semangat mempersatukan bangsa terbentuk dari berbagai macam ideologi.
"Ada satu tekad dari para tokoh bangsa saat itu yakni bagaimana menghabisi kolonialisme dan imperialisme," ujar Gusti.
Untuk menghargai Tan Malaka sebagai pahlawan, kata Gusti, pemerintah mesti memosisikan Tan Malaka sebagai pahlawan nasional. Sebagai pahlawan, Tan Malaka memiliki hak untuk mendapat tunjangan, dan dikebumikan di taman makam pahlawan.
Nama Tan Malaka juga mesti ditempelkan di berbagai tempat, misalnya sebagai nama jalan. "Sepengetahuan saya, nama Tan Malaka baru diabadikan sebagai nama jalan di Kota Padang," ujarnya.
Selain itu, Gusti berharap agar pemerintah mencantumkan nama Tan Malaka dan pemikirannya dalam buku-buku sejarah. Gusti mengungkapkan, sudah sejak lama Tan Malaka tidak dihargai pemerintah, dimulai dari era Orde Lama masa pemerintahan Soekarno, Orde Baru, reformasi hingga sekarang.
Nama Tan Malaka kembali mencuat ke permukaan setelah pihak keluarga memutuskan membongkar makam yang diduga sebagai makam pahlawan nasional itu Sabtu lalu, di Desa Selopanggung, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri, Jawa Timur. DNA jasad tersebut nantinya akan dicocokkan dengan DNA keluarga Tan Malaka.
Pihak keluarga Tan Malaka mengaku kecewa dengan minimnya perhatian pemerintah terhadap Tan Malaka. Tan Malaka lahir di Pandan Gadang, Suliki, Sumatera Barat, 2 Juni 1897. Ia meninggal 21 Februari 1949 di Desa Selopanggung. [*/sss]
"Tan Malaka mesti dihargai karena beliau berjuang untuk kemerdekaan republik ini. Beliau tidak dihargai karena dianggap sebagai kelompok kiri. Sebetulnya, Soekarno cukup memberikan perhatian pada Tan Malaka. Di masa Soekarno, Tan Malaka mendapat gelar pahlawan nasional. Hanya saja, ada orang-orang di sekitar Soekarno yang tidak setuju Tan Malaka mendapat apresiasi dari pemerintah. Sementara di zaman Orde Baru ajaran komunis benar-benar diharamkan," kata sejarawan Sumbar Gusti Asnan di Padang, Senin (14/9).
Ketika belum ada yang merumuskan penolakan terhadap penjajahan baik penjajahan secara fisik maupun pemikiran, sejarawan yang menyelesaikan S2 dan S3 bidang sejarah di Universitas Bremen Jerman ini, Tan Malaka telah tampil dengan ide dan gagasannya.
Banyak lagi ide dan gagasan Tan Malaka yang relevan hingga saat ini, tutur dia, yakni tentang ekonomi kerakyatan, dan praktik kapitalisme. Di masa Tan Malaka, semangat mempersatukan bangsa terbentuk dari berbagai macam ideologi.
"Ada satu tekad dari para tokoh bangsa saat itu yakni bagaimana menghabisi kolonialisme dan imperialisme," ujar Gusti.
Untuk menghargai Tan Malaka sebagai pahlawan, kata Gusti, pemerintah mesti memosisikan Tan Malaka sebagai pahlawan nasional. Sebagai pahlawan, Tan Malaka memiliki hak untuk mendapat tunjangan, dan dikebumikan di taman makam pahlawan.
Nama Tan Malaka juga mesti ditempelkan di berbagai tempat, misalnya sebagai nama jalan. "Sepengetahuan saya, nama Tan Malaka baru diabadikan sebagai nama jalan di Kota Padang," ujarnya.
Selain itu, Gusti berharap agar pemerintah mencantumkan nama Tan Malaka dan pemikirannya dalam buku-buku sejarah. Gusti mengungkapkan, sudah sejak lama Tan Malaka tidak dihargai pemerintah, dimulai dari era Orde Lama masa pemerintahan Soekarno, Orde Baru, reformasi hingga sekarang.
Nama Tan Malaka kembali mencuat ke permukaan setelah pihak keluarga memutuskan membongkar makam yang diduga sebagai makam pahlawan nasional itu Sabtu lalu, di Desa Selopanggung, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri, Jawa Timur. DNA jasad tersebut nantinya akan dicocokkan dengan DNA keluarga Tan Malaka.
Pihak keluarga Tan Malaka mengaku kecewa dengan minimnya perhatian pemerintah terhadap Tan Malaka. Tan Malaka lahir di Pandan Gadang, Suliki, Sumatera Barat, 2 Juni 1897. Ia meninggal 21 Februari 1949 di Desa Selopanggung. [*/sss]
=====
Comments
Post a Comment