Seputar Amir S.


"Snapshot" Amir Sjarifoeddin by Rosihan Anwar

by Amir Syarifuddin on Wednesday, November 26, 2008 at 6:51pm ·

SUARA PEMBARUAN DAILY
--------------------------------------------------------------------------------

"Snapshot" Amir Sjarifoeddin


Rosihan Anwar



embaca tulisan Sabam Siagian berjudul Diskusi tentang Alm Amir Sjarifoeddin (SP 31 Mei 2008) tampil lagi di layar ingatan saya beberapa snapshot Bung Amir, sebagaimana saya mengenalnya pada zaman pendudukan Jepang dan hari-hari pertama revolusi Indonesia.

Pada suatu malam pertengahan 1942, zaman Jepang, di sebuah gedung di jalan yang kini bernama Merdeka Barat, Jakarta, Barisan Pemuda Asia Raya digembleng oleh Mr Amir Sjarifoeddin, pemimpin nasionalis terkenal. Atas dorongan Dr Abu Hanifah, saya dan Usmar Ismail memasuki perkumpulan Barisan Pemuda Asia Raya, yang selain dilatih berbaris secara militer oleh dua mantan opsir tentara KNIL juga diberi ceramah- ceramah mengenai nasionalisme.

Bung Amir menguraikan sejarah pergerakan nasional dan menganjurkan agar pemuda melanjutkan perjuangan untuk membebaskan rakyat dari belenggu penjajahan. Pemuda harus senantiasa senasib sepenanggungan dengan rakyat. Juga mendengarkan kata wong cilik. Dia menggunakan sebuah tamsil, yaitu supaya pemuda mendengarkan "radio masyarakat".

Saya sangat terkesan oleh kepandaian Bung Amir berpidato. Saya kemudian menulis cerpen untuk ikut dalam perlombaan mengarang yang diselenggarakan oleh majalah Djawa Baroe. Judul cerpen Radio Masyarakat, terpilih sebagai pemenang nomor tiga. Dikasih hadiah Rp 50. Kelak dimuat oleh HB Jassin dalam antologi sastra Gema Tanah Air. Karena buku itu dipakai dalam pelajaran sastra pelajar SMP, saya dikenal sebagai yang menciptakan istilah Angkatan 45 dalam kesusasteraan, dan sebagai penulis cerpen Radio Masyarakat.

Pertemuan kedua dengan Bung Amir terjadi di Stasiun Gambir petang hari 1 Oktober 1945. Pada hari itu Merdeka, yang dipimpin BM Diah, terbit untuk pertama kali. Sebagai redaktur pertama harian Merdeka bersama Wali Kota Jakarta Suwiryo saya menunggu kedatangan Bung Amir dari Surabaya. Dia ditangkap oleh Jepang pada Januari 1943, dituduh memimpin gerakan di bawah tanah yang dibiayai dengan uang sebesar 25.000 gulden dari Van der Plas sebelum kapitulasi Belanda kepada Jepang. Dia dihukum mati oleh Jepang, tapi berkat intervensi Soekarno vonis itu tidak dilaksanakan.

Bung Amir telah diangkat sebagai Menteri Penerangan dalam kabinet pertama Presiden Soekarno. Turun dari kereta api dia tampak lelah dan kurus. Jelas dia telah disiksa oleh kempetai Jepang. Dia tidak dapat memberikan keterangan apa-apa kepada wartawan yang datang, cuma satu orang. Dia langsung pulang ke rumah istrinya di Jalan Merbabu. Saya ikuti dia ke sana. Dia tetap tidak mau bicara. Kecuali bertanya "Saudara dulu ada di mana?" Saya jawab "Saya orang biasa, Bung".

Segera dia bertugas sebagai Menteri Penerangan. Pada 4 Oktober diselenggarakan konferensi pers pertama dengan koresponden luar negeri yang telah datang di Jakarta. Diceritakannya pengalamannya dalam gerakan bawah tanah melawan Jepang. Dengan tegas disimpulkannya: "Semua itu menunjukkan cerita-cerita orang di luar bahwa pemerintahan RI adalah boneka Jepang sama sekali tidak benar". Saya terkesan mendengar kefasihan dia bicara dalam bahasa Inggris.

Tak Banyak Bicara

Pada hari yang sama di kediaman Pegangsaan Timur 56 (kini Jalan Proklamasi), Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Hatta menerima para koresponden luar negeri, yang pada waktu itu berpakaian seragam militer dan di pundak ada badge war correspondent. Soekarno didampingi oleh beberapa menteri, seperti, Menlu Subardjo, Mendagri Wiranatakusuma, Menteri Perekonomian Surachman, Menteri Pendidikan Ki Hadjar Dewantara, Menteri Kehakiman Soepomo, dan Menteri Penerangan Amir Sjarifoeddin yang pakai celana pendek, kaus kaki panjang, gaya uniform Marsekal Lord Wavell. Dia tidak banyak bicara. Yang menjawab pertanyaan Presiden Soekarno

Pada 10 Oktober, Tiongkok merayakan peringatan Kuomintang. Di gedung Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) di Lapangan Banteng (di zaman Belanda Hooggerechtshof, Mahkamah Agung) Bung Amir berpidato tanpa teks yang dipersiapkan. Dia bicara lancar, menarik, karena merujuk pada fakta-fakta sejarah. Salah satu sound bite diutarakannya ialah "Kemerdekaan adalah jembatan emas untuk mencapai keadilan dan kemakmuran".

Kami berada di Yogya pada 10 November 1945 di Gedung Sociteite, tempat diadakannya Kongres Pertama Pemuda Indonesia. Presiden dan Wakil Presiden hadir, juga Menteri Penerangan. Pukul 10.00 di- terima telepon interlokal dari Surabaya yang mengabarkan "Inggris telah mulai membom". Sumarsono, pemimpin PRI (Pemuda Republik Indonesia), segera menginstruksikan agar delegasi Jawa Timur meninggalkan ruangan dan kembali ke front. Bung Amir mendekati saya dan berkata "Pergilah ke Surabaya. Beritakan pertempuran di situ". Itulah sebabnya saya dan rekan Mohammad Supardi dari Merdeka dengan naik kereta api yang membawa amunisi berangkat meliput pertempuran di Surabaya.

Saya lihat Bung Amir bersama Dr Ak Gani menyambut kedatangan delegasi Belanda di Pelabuhan Cirebon pada November 1946. Ketua Komisi Jenderal Belanda mantan PM Schermerhorn dan Letnan Gubernur Jenderal Van Mook sedang dalam perjalanan ke Linggajati di mana sudah menunggu PM Sutan Sjahrir. Saya tidak dapat bicara dengan Bang Amir waktu itu. Saya bukan wartawan, melainkan ditunjuk oleh pemerintah menjadi ajudan Lord Killearn, sehingga sibuk melayani diplomat Inggris yang jadi mediator perundingan Linggajati.

Karena Sjahrir menolak tuntutan Belanda supaya menyetujui pembentukan gendarmerie yang bertanggung jawab atas keamanan dan di- kepalai oleh jenderal Belanda, sedangkan di pasal-pasal politik dia telah memberikan konsesi, terjadi krisis yang menyebabkan Sjahrir mengembalikan mandatnya. Amir Sjarifoeddin tampil sebagai PM pada 3 Juli 1947, tapi dalam kabinetnya Masyumi tidak ikut serta. Atas saran Soekarno, Bung Amir memasukkan orang-orang Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) seperti Wondoamisano, Arudji Kartawinata ke dalam kabinet dan dengan begitu Masyumi terpecah-belah. Sebagai Pemimpin Redaksi Majalah Siasat, saya diminta datang ke Yogya untuk menghadiri konferensi pers yang diadakan oleh Bung Amir.

Saya dengarkan uraiannya bahwa dia membutuhkan backing politik golongan Islam terhadap kabinetnya dan karena itu memasukkan PSII ke dalamnya. Tak lama setelah saya balik ke Jakarta, pada 21 Juli 1947 Belanda melancarkan aksi militernya yang pertama terhadap Republik.


Kapal Perang

Kesempatan berikut saya melihat Bung Amir ialah di kapal perang Amerika Renville, yang berlabuh di Tanjung Priok di mana diadakan perundingan dengan pihak Belanda. Bung Amir sedang bercakap-cakap dengan Profesor Frank Graham, wakil Amerika dalam Komisi Tiga Negara (KTN) yang jadi perantara dalam perundingan Renville, Desember 1947 dan berakhir dengan ditandatanganinya Persetujuan Renville 17 Januari 1948. Waktu bercakap-cakap dengan Graham di geladak Renville, Bung Amir memegang sebuah Kitab Injil.

Reaksi partai Masyumi dan PNI terhadap teks perjanjian Renville yang telah ditandatangani oleh PM Amir Sjarifoeddin menimbulkan krisis kabinet. Bung Amir mengembalikan mandat dan kabinetnya digantikan oleh kabinet Mohammad Hatta pada 29 Januari 1948. Sejak itu Bung Amir hilang dari layar radar pengamatan saya.

Dari pedalaman datang berita mengenai oposisi keras dari Sayap Kiri yang kemudian menjelma sebagai FDR (Front Demokrasi Rakyat) terhadap kabinet Hatta. Bung Amir aktif di dalamnya.

Pada 11 Agustus, Suripno yang mewakili RI di Praha, bersama seorang "sekretaris" terbang dari Bukittinggi ke Yogya dan beberapa hari kemudian mengungkapkan bahwa "sekretaris" itu ada- lah Musso, gembong PKI yang sudah lama bermukim di Uni Soviet.

Dengan cepat Musso membubarkan FDR, membentuk PKI. Bung Amir memberikan pengakuan publik bahwa sejak 1935 dia bergabung dengan "Partai Komunis Ilegal" yang dibentuk oleh Musso di Surabaya pada 1936. Lalu Setiadjit, Tan Ling Djie, dan Abdulmadjid, juga mengaku mereka adalah komunis.

Pada 18 September 1948 dipimpin oleh Sumarsono pecah pemberontakan PKI di Madiun. Akibatnya, Soekarno-Hatta bertindak tegas terhadap PKI. Musso ditembak mati ketika melarikan diri. Bung Amir bersama Maruto Darusman ditangkap, kemudian menjelang akhir tahun dieksekusi di sebuah desa dekat Solo. Bung Amir tewas dengan menggenggam sebuah buku doa Kristen, setelah menyanyikan lagu "Internationale", dalam usia 41 tahun, masih muda.

Apakah Bung Amir komunis? Pertanyaan ini saya ajukan kepada Bung Sjahrir yang menjawab "tidak". Tapi, Sjahrir tidak memberikan alasan mengapa dia menjawab begitu. Bagaimanakah Bung Amir waktu masih studen Rechts Hoge School di Batavia? Tanya saya kepada Dr Abu Hanifah, yang satu asrama dengan Bung Amir. Dijawabnya "Amir itu seniman. Di kamarnya dia suka main biola menggesek lagu-lagu klasik. Pada waktu itu karena pengaruh guru besarnya Profesor Schepper dia sedang tekun membaca Injil, sebagai orang yang semula Islam berganti agama memeluk Kristen. Tidak ada tanda-tanda dia tertarik pada komunisme".

George McTurnan Kahin penulis buku Nationalism and Revolution in Indonesia menceritakan bahwa Amir Sjarifoeddin menjadi tokoh oposisi di barisan Sayap Kiri karena "kecewa kepada Amerika sewaktu perundingan Renville". Dia merasa ditinggalkan oleh AS yang katanya jago demokrasi itu. Tapi, keterangan lain yang saya dengar waktu itu sebabnya Amir menyatakan dirinya komunis adalah untuk tetap bisa berperan sentral di pentas politik, berada at center stage. Mana yang benar, siapa yang tahu? Bung Amir telah membawa sebuah misteri ke alam kubur.

Orang boleh mengadakan kajian psiko-analisis dan mungkin di situ bisa diperoleh jawaban untuk menerangkan perilaku Bung Amir. Di mata saya, sebagai wartawan muda di zaman revolusi, Bung Amir adalah seorang nasionalis, idealis, tapi bersamaan juga tragis.


Penulis adalah wartawan senior

Sumber: http://www.nabble.com/-sastra-pembebasan--%22Snapshot%22-Amir-Sjarifoeddin-td18125588.html

======

Makam Amir Syarifuddin, Tanpa Nisan Tanpa Penghormatan

by Amir Syarifuddin on Monday, November 24, 2008 at 3:04pm ·

Jelang HUT ke-61 RI
Makam Amir Syarifuddin, Tanpa Nisan Tanpa Penghormatan

Karanganyar - Pemakaman Umum Ngaliyan, Lalung, sekitar 5 Km di selatan Kota Karanganyar tak ubahnya seperti makam-makam desa lainnya. Sebatang pohon Kamboja tumbuh di tengah jejeran nisan-nisan, berdiri tegak lurus dengan sebatang pohon Asam yang rimbun. Sekeliling pemakaman dipagari tembok setinggi 1,5 meter.

Tapi sesungguhnya, ada yang membuatnya berbeda. Setitik nilai historis yang terlupakan pada sepetak tanah berukuran sekitar 2 x 8 meter yang ada di tengah pemakaman. Letaknya di dekat pintu gerbang yang terbuat dari besi bercat hijau. Gundukan itu tak bernisan. Tak ada penanda apa pun. Di atasnya, tumbuh sejumput tipis rerumputan kering diselingi beberapa tangkai ilalang.

Sekitar satu setengah meter di bawah gundukan tersebut, terbujur jasad Amir Syarifuddin. Ia adalah salah satu dari tokoh empat serangkai Soekarno-Mohammad Hatta-Sutan Sjahrir-Amir Syarifuddin yang memimpin republik ini pada zaman revolusi mempertahankan kemerdekaan.

Amir tidak sendirian, bersamanya, dalam satu lubang yang sama, terbujur 10 rekannya. Ya, akibat petualangan politiknya bersama Partai Komunis Indonesia (PKI), tengah malam di hari 19 Desember 1948, mereka dieksekusi bersama-sama oleh polisi militer, anak buah Kolonel Gatot Subroto di lokasi tersebut.

Eksekusi itu sendiri tanpa melalui pengadilan militer dan lebih dipicu sebagai kepanikan menyusul Agresi Militer II Belanda atas Kota Yogyakarta pada pagi harinya. Sebab, pada Agresi Militer I, 21 Juli 1947, para tahanan republik di LP Wirogunan memanfaatkannya untuk kabur tanpa sempat diadili.

Sejarah memang mencatat kelam nama Amir. Perannya sebagai pelaku Sumpah Pemuda (Jong Batak) 1928 dan pejuang anti-Jepang, hingga nyaris dihukum mati, jarang diungkit-ungkit. Apalagi kabar dari salah satu versi, bahwa dialah sebenarnya calon proklamator utama NKRI, sebelum akhirnya pilihan pemuda-pemuda revolusioner jatuh pada Soekarno-Hatta. Tak pernah tergali!

Yang muncul dalam lembar sejarah adalah hujatan atas kegagalannya sebagai perdana menteri dengan meneken Perjanjian Renville (1948). Dan yang paling fatal adalah kiprahnya sebagai tokoh PKI pendukung negara Sovyet Republik Indonesia bentukan Musso di Madiun 1948 yang sekaligus anti-Perjanjian Renville. Sungguh, citra sempurna untuk orang yang dicap pengkhianat bangsa.

Coreng itulah yang menjadikan Amir menjadi stigma hitam bahkan hingga saat tubuhnya menyatu dengan bumi. Sebetulnya, ketika masa traumatik terhadap PKI berakhir, sekitar tahun 1951 sudah ada upaya untuk mengurus jasad Amir cs dengan layak.

Saat itu, dilakukan upaya penggalian kembali. Jasad 11 orang yang bertumpuk-tumpuk, dirapikan. Masing-masing diidentifikasi dan dimakamkan secara layak meski tetap dalam lubang yang sama. Pada makam, bahkan sudah dilakukan pengecoran dan pemberian nama 11 nisan sesuai dengan urutannya.

"Saat itu, makam bersih dan rapi. Bahkan ada juru kuncinya, yakni Pak Mangun," ujar Warsiman, penduduk di sekitar makam. Sanak saudara Warsiman, adalah salah satu penduduk yang diminta aparat untuk menggali lubang kubur Amir cs pad atahun 1948.

Warsiman yang sekitar tahun 1964, menginjak usia SD, bahkan masih ingat, bila akhir pekan, makam Amir Cs laksana pasar. "Banyak yang berziarah sampai dipenuhi penjual makanan. Saya dulu malah sering dikasih permen oleh para penziarah," kata dia.

Namun seiring dengan Peristiwa 30 September 1965 yang kembali melibatkan tokoh-tokoh PKI, keriuhan itu bubar. Suatu hari, di tahun 1965, tanpa alasan yang jelas, sekelompok orang tak dikenal datang merusak makam Amir Cs dan mencabuti papan nisan mereka.

Sejak itu, makam Amir cs menjadi tak terawat. Tak ada penduduk yang berani untuk sekadar membersihkannya. Mereka takut dicap pro PKI yang menjadi stigma kental era Orde Baru. Waktu akhirnya memangsa reruntuhan makam disaput tanah dan rerumputan. Hanya kambing-kambing kampung yang setia merawat, menyiangi agar rumput tak bertambah tinggi.

Padahal niatan untuk sekadar memuliakan orang yang telah meninggal pernah ada. Dulu ada usulan dari kampung agar di sekitar makam Amir cs didirikan cungkup. Ya, sekadar untuk tempat berteduh-lah, bagi peziarah makam yang kepanasan. Tapi usul ini kandas di tangan pemerintah lokal.

"Akhirnya sampai sekarang begini keadaannya. Tidak ada yang ngopeni. Bahkan anak-anak zaman sekarang banyak yang tak tahu, itu makam bekas pembesar." Warsiman benar, faktanya, detikcom menjumpai sangat sedikit penduduk Karanganyar yang tahu soal sejarah makam Amir Syarifuddin.

Sungguh pun begitu, bukan berarti tak ada peziarah makam Amir. Penduduk sekitar mengaku sesekali melihat orang-orang asing, menyambangi makam Amir cs. Umumnya mengendarai mobil bernomor polisi Jakarta. "Mereka nyekar sambil menangis-nangis di depan makam. Mereka sudah tahu makam itu, meskipun tidak ada nisannya. Mungkin keluarganya," ujar Warsiman.

Begitulah, bangsa ini boleh menafikannya. Namun bagi beberapa orang, sepetak tanah berukuran 2 x 8 meter tersebut masih memiliki arti. Banyak yang menilai, apa yang terjadi di tahun 1948 tak lebih dari perbedaan pandangan perjuangan yang dipicu oleh kerusuhan yang terjadi di Solo, sebelumnya.

Menurut cerita, sesaat sebelum dieksekusi di depan liang lahatnya, Amir Cs meminta izin kepada letnan CPM komandan regu tembak untuk menyanyikan 2 buah lagu. Yang pertama adalah lagu komunis, Internasionale, dan kedua adalah Indonesia Raya.

Permintaan itu dikabulkan. Tengah malam, sekitar pukul 23.30 WIB, kedua lagu dinyanyikan ke-11 orang hingga membumbung ke udara. Setelah itu dor! Amir yang pertama. Dengan mengantungi Kitab Injil di sakunya, ia mendapat giliran pertama dieksekusi. Jiwanya yang berganti melayang ke angkasa.

Kata orang, bangsa yang besar adalah yang menghargai pahlawannya. Amir mungkin bukan pahlawan yang patut dikenal, sebaliknya ia mungkin dicap sebagai Brutus. Tapi sebagai anak manusia, semestinya jasadnya patut dimuliakan. Seperti kata Warsiman, bukankah lagu kebangsaan kita masih sama? Indonesia Raya!

Sumber: http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2006/bulan/08/tgl/09/time/092320/idnews/652484/idkanal/10

========

Pendiri Jong Batak, Pahlawan yang Diberangus Sejarah

by Amir Syarifuddin on Sunday, January 25, 2009 at 1:44pm ·

Oleh : Hotman Jonathan Lumbangaol

12-Jan-2009, 22:09:21 WIB - [www.kabarindonesia.com]

KabarIndonesia - Amir Sjarifuddin Harahap hidup pada masa 1907-1948. Beliau lahir di Tapanuli Selatan 27 April 1907. Ayahnya, Djamin Baginda Soripada Harahap (1885-1949) keturunan kepala adat dari Pasar Matanggor, Padang Lawas dan mantan jaksa di Medan. Ibunya, Basunu Siregar (1890-1931), lahir dari keluarga Batak-Melayu.

Karakternya sejak kecil sudah telihat berkepribadian teguh, si Jugulbaut (si Badung). Masa remaja, Amir menimba pendidikan Belanda di ELS setara Sekolah Dasar di Medan sejak tahun 1914 hingga tahun 1921. Tahun 1926 atas undangan sepupunya, TSG. Mulia pendiri penerbit Kristen BPK Gunung Mulia yang baru saja diangkat sebagai anggota Volksraad (Dewan) belajar di Kota Leiden, Belanda mengajak Amir untuk juga sekolah di Belanda.

Di Belanda, Amir aktif berorganisasi pada Perhimpunan Siswa Gymnasium, Haarlem. Selama masa itu pula dia aktif mengelar diskusi-diskusi Kelompok Kristen, di kemudian hari Kelompok Kristen menjadi embrio lahirnya Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia. Di Belanda, dua sepupu ini menumpang di rumah seorang guru penganut Kristen Calvinis bernama Dirk Smink.

Kristen Calvinis adalah aliran gereja yang ketat soal doktrin. Calvisnis berasal dari spirit ajaran John Calvin (1509-1564). Sebenarnya Amir Sjarifuddin seorang Muslim. Berpindah agama Kristen saat di Belanda, tetapi dibaptis di HKBP Kernolong, Jakarta tahun 1931. Dia tidak saja hanya berpindah iman tetapi mendalami agama Kristen sungguh-sungguh.

Tiap hari Minggu turut berkhotbah. Khotbahnya selalu menyetuh, dan meneguhkan banyak orang. Paparannya tentang Injil sangat mendalam. Amir adalah orang yang berpengetahuan tinggi, soal politik dan teologia. Bahasanya sederhana dan lugas. Amir sebagai seorang orator yang sangat brilyan, yang suka membumbui kata-katanya dengan humor, karenanya ia menjadi sangat populer.

Sebagai orang yang Kristen sejati, Ade Rostina Sitompul, aktivis kemanusiaan. Ade punya kenangan pada sosok Amir Sjarifuddin, karena ayahnya Kasianus Sitompul berkawan dengan Amir. Amir tinggal di Daerah Guntur, Jalan Sumbing. Kawasan Guntur terkenal dengan kampung Batak. Kala itu, orang Batak bergereja di rumah salah satu warga bermarga Nainggolan, disanalah sering Amir berkotbah.

“Kohtbahnya bersemangat nasionalisme. Bagaimana mengusir Jepang, bagaimana hidup sebagai Kristen. Dia bercerita bagaimana kenangan-nya dipenjara Jepang, dia suruh minum sebanyak-banyaknya, lalu dia digantung dengan kepala ke bawah, lalu air tumpah keluar semua. Saya melihat sosok Amir itu adalah orang yang bersahabat, selalu mengajak anak-anak dialog. Yang pertama dia Tanya sudah berdoa belum? Namanya harus dipulihkan. Apalagi setelah buku yang ditulis dengan Sumarsono itu,” ujar Ade Rostina Sitompul.
Soal semangatnya Kristen-nya, Amir Sjarifuddin mengidolakan Toyohiko Kagawa (1888-1942). Kagawa adalah tokoh Kristen Jepang, yang dulunya adalah penganut agama Shinto. Hidup dengan orang-orang miskin di daerah kumuh, Shinkawa, Jepang.

Dia dikenal sebagai bapak dari gerakan buruh di Jepang, seorang pendiri Serikat Buruh pertama di Jepang yang menyerukan melawan materialisme, kapitalisme. Bagi Kagawa, Kekristenan seharusnya malu mendirikan gereja-gereja besar dan mahal, tetapi gagal mengikuti manusia yang lahir di palungan dan dikubur makan milik orang lain. Bagi Kagawa Salib Jesus itu kuasa yang besar.

Amir tidak hanya pintar berbicara, tetapi pintar menulis. September 1927, sekembalinya dari Belanda, Amir masuk Sekolah Hukum di Batavia dan tinggal di asrama pelajar Indonesisch Clubgebouw, Kramat nomor 106. Dalam memperjuangkan kemerdekan Indonesia, dia terlibat berbagai pergerakan bahwa tanah. Tahun 1931, Amir mendirikan Partai Indonesia (Partindo).

Lalu, mendirikan Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo) sembari menulis dan menjadi redaktur “Poedjangga Baroe”. Tahun 1928-1930 dia adalah pimpinan redaksi majalah Perhimpunan Pemoeda Pelajar Indonesia (PPPI). Sebagai seorang wartawan, dia menulis dengan nama samaran "Massa Actie".

Tahun 1942, sebelum dipenjara Jepang, Amir bersama sejumlah orang Kristen menerbitkan Boekoe Peringatan Hari Djadi Isa A-Maseh. Pada bulan Januari 1943 dia tertangkap oleh fasis Jepang, karena dianggap pemberontak. Kejadian itu membongkar jaringan, organisasi anti-fasisme Jepang yang dimotori Amir. Amir dituduh memimpin gerakan di bawah tanah yang dibiayai dengan uang sebesar 25 ribu Gulden dari Van der Plas.

Untuk hal ini, Amir dihukum mati oleh Jepang. Namun, intervensi Soekarno hukuman itu tidak dilaksanakan. Sebuah dokumen Netherlands Expeditionary Forces Intelligence Service (NEFIS), menyebutkan, instansi rahasia yang dipimpin Van Mook, 9 Juni 1947 menulis tentang Amir; "ia mempunyai pengaruh besar di kalangan massa dan orang yang tak mengenal kata takut".

Juli 1945, Amir menulis di Harian Belanda “Nieuwsgier”, bahwa ia tidak seperti Sjahrir, yang sudah merasa senang dengan berada di tengah kalangan intelektual. Zaman baru ini mendorong umat Kristen Indonesia untuk lebih serius memikirkan masa depannya. Berbuat untuk negara ini.

Pendiri Jong Batak
Tahun 1925, sejak “Jong Sumatra”, kesadaran Batak mulai mucul. Amir Sjarifuddin, Sanusi Pane (1905-1968), dan teman-temanya yang sesama etnis Batak, mendirikan organisasi yang disebut “Jong Batak”. Organisasi pemuda Batak ini dibentuk atas kesadaran, karena nominasi “Minang” yang lebih dominan di organisasi “Jong Sumatra “ itu.

Atas kesadaran itu Amir dan rekannya membangun semangat baru bagi pemuda Tanah Batak. Salah satu kesepahaman mereka adalah “Bahasa Batak kita begitu kaya akan puisi, pepatah dan pribahasa yang kadang-kadang mengandung satu dunia kebijaksanaan tersendiri. Bahasanya sama dari Utara ke Selatan, tapi terbagi dengan jelas dalam berbagai dialek. Kita memiliki budaya sendiri, aksara sendiri, seni bangun yang tinggi mutunya, yang sepanjang masa tetap membuktikan bahwa kita memiliki nenek-moyang yang perkasa. Sistim marga yang berlaku bagi semua kelompok penduduk negeri kita menunjukkan adanya tata Negara lama yang bijak. Kita mempunya hak untuk mendirikan sebuah Perserikatan Batak yang khas, yang dapat membela kepentingan-kepentingan kita dan melindungi budaya kuno kita…” (Hans Van Miert, hal 475).

Dihapus dari Sejarah
Dia dieksekusi pada Peristiwa Madiun tragis 19 Desember 1948, pada usia 41 tahun. Dihujat berlebihan. Purbasangka yang tak berdasar. Orang PKI menyebutnya, “krucuk” anak bawang dalam politik, dia nyaris tidak mendapat tempat dari teman-temannya. Lawan politiknya menyebutnya dia arogan.

Pada 29 November 1948, Amir dua rekannya Soeripino dan Harjono bersembunyi di sebuah gua di Pengunungan Gua Macan, sebelah Utara Klabu, Panebahan. Dari dalam gua Amir sempat menyerukan “Saya hanya mau menyerah pada pasukan Panebahan Senopati.” Baru menyerahkan diri tanpa menggunakan sepatu, berpiyama dan memegang pistol, janggutnya tidak terurus dan rambutnya acak-acakkan.

Amir diberondong senjata tim eksekusi, suruhan Kolonel Gatot Subroto, distigma otak dari semua malapetaka Madiun 1948. Sebelum ditembak, Amir sempat bertanya ke komandan regu tembak. “Apakah niatnya itu sudah dia pikirkan dengan matang. Bahwa jika saya mati, negara akan rugi besar,” dengan tegas dijawab “Saya mengikuti komando”.

Untuk terakhir kalinya, Amir sempat menulis surat untuk isterinya. Setelah itu dia bernyanyi Indonesia Raya dan Internasionale baru ditembak. Saat dieksekusi ia memegang Alkitab. Wartawan senior, Rosihan Anwar menulis, Amir dieksekusi dengan menggenggam sebuah buku doa Kristen, bukan Alkitab.

George Mc Turnan Kahin penulis buku Nationalism and Revolution in Indonesia menceritakan bahwa Amir Sjarifuddin menjadi tokoh oposisi di barisan Sayap Kiri karena Dia merasa ditinggalkan oleh Aerika yang katanya jago demokrasi itu. Amir Sjarifuddin "kecewa kepada Amerika sewaktu perundingan Renville".

Kegengerian itu tidak hanya berhenti disitu. Setelah dia mati, keluarganya terluntah-luntah. Dua tahun setelah meninggal, atas perintah Presiden Soekarno, pada tanggal 15 November 1950, pusaranya digali kembali, dilakukan proses identifikasi selama seminggu. Setelah proses identifikasi, diadakan serah terima kerangka kepada keluarga, dimakamkan kembali dengan nisan masing-masing berjajar.

Masa Orde Baru tahun 1965, pasca-G30S, sekelompok pemuda menghancurkan pusara itu lagi. Lalu ditutupi dengan potongan rel kereta api, setiap sisi diberi cor semen. Makam-makam baru juga dibangun bersebelahan dengan setiap sisi sehingga kerangka Amir Sjarifuddin sulit dipindahkan keluarga.

Warga desa Ngaliyan tidak berani menghalang-halangi pemuda-pemuda tersebut sebab pada saat itu terror juga turut mereka rasakan. Kesulitan untuk memugar makam tersebut dirasakan pihak keluarga harus mengurus perizinan yang rumit dari aparat pemerintah desa hingga pemerintah pusat. Lucunya harus persetujuan Kodim serta pihak Departemen Pertahanan Keamanan.
Informasi tentang Amir Sjarifuddin pun sengaja ditutup-tutupi. Di sekolah, belajar sejarah, nama Amir tidak pernah terdengar. Itu sebabnya sosoknya tidak banyak yang tahu, dan jarang diangkat media. Informasi tentang pejuang-nya selalu dibragus.

Satu fakta, Majalah Prisma tahun 1982 pernah hampir dibredel karena memuat tentang tulisan Amir Sjarifuddin, dalam rangka 75 tahun Amir Sjarifuddin. Tahun 1984 Penerbit Sinar Harapan pernah menerbitkan tesis Frederiek Djara Wellem berjudul: “Amir Syarifuddin; Pergumulan Iman dan Perjuangan Kemerdekaan”. Sayang, buku itu di-sweeping oleh pemerintahan Soeharto, karena dianggap merusak sejarah Indonesia.
Pada 27 Mei 2008 lalu, untuk mengenang jasa-jasanya, STT Jakarta mempelopori seminar bertajuk “Amir Syarifuddin Nasionalis Pejuang Kemerdekaan dan Pembebasan Rakyat”. Tampil sebagai pembicara: Setiadi Reksoprodjo mantan menteri pada kabinet Amir Syarifuddin, Ketua STT Jakarta Dr. Jan .S Aritonang, Aswi Warman Adam dosen sejarah dan peneliti. Seminar dimoderatori Fadjroel Rahman.

Perjuanganya tidak pernah dihargai negara. Untuk pemugaran makam-nya saja dibutuhkan waktu 60 tahun. Pemungaran baru bisa tahu lalu dipelopori lembaga Ut Omnes Unum Sint Institute dalam bahasa Latin, yang artinya Agar Semua Satu Adanya. Lembaga yang didirikan 17 pemuda Batak, saat ini diketuai Jones Batara Manurung. Pemungaran tepatnya dimulai 12 Agustus 2008, dengan serangkaian tahapan antara lain: Pertama, pendekatan pada warga desa Ngaliyan dengan koordinasi dengan Komnas HAM.

Lalu dilakukan pertemuan seputar teknis pelaksanaan pemugaran, oleh Ut Omnes Unum Sint Institute memberitahukan perihal rencana pemugaran pada pihak pihak Kecamatan Karanganyar. Setelah pemugaran selesai, tanggal 14 November diadakan Ibadah Syukur di Gereja Dagen Palur, Solo dihadiri para undangan dari berbagai Gereja, LSM, organisasi kemahasiswaan di Solo dan Yogyakarta.
Saat ini di Desa Ngaliyan, setiap bulan “Ruwah”, satu bulan sebelum puasa Islam warga punya tradisi membersihan, perbaikan makam. Bagi masyarakat Ngaliyan, Amir Sjarifuddin dan kawan-kawan adalah pahlawan. Dulu, setiap bulan Ruwah, warga Ngaliyan tidak berani membersihkan makam, takut dicap PKI. Sebutan tak kalah kejam adalah dia disebut seorang ateis, atau seorang yang beragama komunis.

Tetapi kebenaranya sejarah merungkap bahawa ideologi politiknya memang komunis, tetapi dia bukan anti-agama. Para pemimpin agama anti-komunislah menyebut dia ateis. Amir jelas penganut humanis, politikus flamboyan, seniman. Tak kala galau dia mengesek biola saban dulu menjadi kegemarannya. Tidak ada tanda-tanda dia ateis. Aristoteles mengatakan “Nilai manusia, bukanlah ditentukan oleh kehancuran hidup dan cita-citanya tetapi oleh perjuangannya mempertahankan harkat kemanusiaannya.” Kata-kata itulah yang tepat mengambarkan hidup tragis Amir Syarifuddin Harahap. (*)


* Penulis adalah wartawan budaya Batak
Blog: http://www.pewarta-kabarindonesia.blogspot.com/

============

Diskusi tentang Alm Amir Sjarifoeddin by Sabam Siagian

by Amir Syarifuddin on Wednesday, November 26, 2008 at 6:52pm ·

SUARA PEMBARUAN DAILY

CATATAN JAKARTA

Diskusi tentang Alm Amir Sjarifoeddin


Sabam Siagian

Ruang Aula Sekolah Tinggi Teologia (STT) Jakarta penuh sesak ketika pada Selasa,
27 Mei, sore diselenggarakan diskusi tentang almarhum Amir Sjarifoeddin.
Marganya Harahap, tapi jarang dicantumkan.

Sebuah panitia terdiri dari Jones Batara Manurung (Lembaga Ut Omnes Unum Sint),
Dr Jan Aritonang (Rektor STT Jakarta) dan Fadjroel Rachman (Pedoman Indonesia),
agaknya ingin memanfaatkan ulang tahun Bung Amir ke-101 untuk menyelenggarakan
sebuah seminar. Judulnya "Amir Sjarifoeddin: Nasionalis Pejuang Kemerdekaan dan
Pembebasan Rakyat."

Menarik bahwa salah seorang anggota panel sebagai narasumber adalah Ir Setiadi
Reksoprodjo, pernah menjadi anggota Kabinet Perdana Menteri Amir Sjarifoeddin
(Juni 1947 - Januari 1948).

Meskipun sudah mencapai umur 80-an, namun uraian Pak Setiadi masih jelas. Ia
masih mampu menghasilkan naskah tertulis tentang beberapa aspek hidup Bung Amir.

Panelis kedua adalah Asvi Warman Adam, sejarawan LIPI. Mengingat berbagai
undangan yang harus dilayaninya sebagai pembicara tentang berbagai topik
sejarah, cukup mengesankan bahwa ia sempatkan hadir di acara peringatan Bung
Amir ini.

Ia menekankan bahwa rencana rasionalisasi tentara secara drastis, yang
diterapkan PM Moh Hatta pada awal 1948, merupakan masalah sosial-politik yang
dominan. Berpuluh-ribu pejuang yang biasa memegang senjata terpaksa disalurkan
kembali ke masyarakat.

"Peristiwa Madiun September 1948 adalah konsekuensi dari penerapan gagasan
rasionalisasi tersebut." Asli Warman Adam menolak dugaan bahwa AS terlibat dalam
memicu "Peristiwa Madiun" yang dipersiapkan dalam suatu pertemuan rahasia di
Sarangan.

Naskah Dr Jan Aritonang yang disajikan untuk seminar ini dipersiapkan secara
rapi dan cukup lengkap (tujuh halaman). Fokusnya terutama menyoroti alm Bung
Amir sebagai tokoh politik yang amat mengandalkan iman Kristen. Karakter dan
integritas Bung Amir sebagai pemimpin, menurut Pendeta Aritonang, patut ditiru
oleh "kalangan Kristen masa kini, terutama yang doyan berpolitik". Ia sindir:
"Berapa banyak orang yang mengaku sebagai politikus Kristen masih punya
integritas dan keberanian seperti itu pada masa kini?"

*

Terasa suasana di aula STT pada sore hari itu mencerminkan suatu ketidakpuasan
bercampur kegelisahan tentang situasi masa kini. Artinya, beberapa cuplikan
ucapan para panelis yang secara tidak langsung bernada kritis tentang situasi
sekarang segera disambut dengan tepuk tangan.

Umpamanya, referensi tentang Bung Amir yang bertahun-tahun disekap (dan disiksa)
dalam penjara oleh militer Jepang (awal 1943 - September 1945), ketika
dibebaskan, segera menjadi menteri dalam kabinet pertama RI. "Tapi, sekarang
kita lihat, seorang jadi menteri kemudian dimasukkan dalam penjara karena
korupsi" (tepuk tangan).

Ucapan Bung Amir ketika bersama pasukan pendukungnya yang meninggalkan Madiun
menuju daerah utara yang menegur seorang anak buah karena mengambil buah kelapa
penduduk: "tentara harus melayani rakyat bukan mengambil kepunyaan rakyat" juga
disambut meriah oleh hadirin.

Kekejaman yang dilakukan pasukan pendukung Amir Sjarifoeddin dan Musso agaknya
cenderung diabaikan.

Suatu diskusi yang serba tenang dan objektif mengenai alm Amir Sjarifoeddin
memang amat diperlukan. Sebagai tokoh yang penting pada awal sejarah RI dia
memiliki penampilan yang colorful dengan gaya menarik.

Keulungannya berpidato setara dengan Bung Karno, kadang-kadang lebih hebat.
Rosihan Anwar, wartawan senior, pernah cerita pengalamannya mewawancarai Bung
Amir beberapa kali. Ia cenderung mengutip tokoh-tokoh besar dunia dan sikapnya
akrab, terhadap seorang wartawan muda sekalipun.

Kharisma Bung Amir dan akhir hidupnya yang tragis (dia dieksekusi pada tengah
malam 19/20 Desember 1948) mudah menimbulkan cerita-cerita heroik, kadang-kadang
bercampur romantik, tentang hidup Perdana Menteri RI ke-2 ini.

Oleh karena itu, dalam penulisan biografi tentang Amir Sjarifoeddin perlu ingat
wanti-wanti Han Su-Yin yang menulis biografi Chou En-lai, tokoh RRT. Ketika
ditanya wartawan The New York Times, kenapa dia bersikap begitu kritis, Han
Su-Yin menjawab: "Ia harus dicukilkan sebagai manusia, bukan sebuah legenda ("He
should be a man, not a legend").

u

Amir Sjarifoeddin adalah salah satu tokoh pemimpin politik utama RI pada awal
sejarahnya, Oktober 1945 - Januari 1948. Ia bertugas sebagai menteri pertahanan
dalam kabinet-kabinet Sjahrir. Sebagai perdana menteri dan ketua delegasi RI
dalam perundingan dengan pihak Belanda, ia menandatangani Persetujuan Renville
pada 17 Januari 1948. Renville adalah nama kapal pengangkut militer AS yang
berlabuh di Teluk Jakarta. Kapal itu disepakati sebagai lokasi netral, karena RI
dan Belanda berselisih pendapat tentang tempat perundingan.

Menyoroti karier politik Bung Amir, seyogianya menganalisis perkembangannya
selama 1948, sejak penandatanganan itu sampai dia dieksekusi pada tengah malam
19/20 Desember 1948. Tahun itu menonjolkan karakternya yang memegang teguh
kesetiakawanan, emosi yang cenderung meluap, dan perhitungan politik yang
beberapa kali keliru, sehingga akibatnya fatal.

Tahun 1948 adalah klimaks dan anti-klimaks, bahkan tragedi dalam hidup Amir
Sjarifoeddin sebagai tokoh politik dan pemimpin. Semuanya itu selalu harus
ditempatkan dalam konteks persaingan politik intern RI yang amat intens, konflik
RI - Belanda, peranan negara-negara anggota Komisi PBB (AS, Australia, Belgia)
dan sekaligus juga konteks global, karena "Perang Dingin" ikut mempengaruhi
perundingan RI - Belanda.

Ada manfaatnya kalau kita urutkan beberapa rentetan peristiwa yang relevan
berkaitan dengan tahun terakhir dalam hidup Amir Sjarifoeddin (AS) pada 1948.

17 Jan: Menandatangani persetujuan Renville; 23 Jan: Mengundurkan diri sebagai
PM, karena Partai Masyumi tiba-tiba menarik dukungannya; 29 Jan: Wapres Moh.
Hatta ditugaskan Presiden Soekarno membentuk kabinet AS atas nama kelompoknya,
Sayap Kiri, tuntut 4 kursi, antara lain pos Menhan untuk dia, Bung Hatta tolak,
tapi sediakan 1 kursi untuk AS sebagai Menteri Negara; 13 Febr: Partai Sosialis
pimpinan Sutan Sjahrir dan Amir Sjarifoeddin yang didirikan pada Desember 1945
pecah dua. Partai ini merupakan landasan kukuh dari berbagai kabinet. Pengikut
Sjahrir mendirikan Partai Sosialis Indonesia, AS tetap memimpin sisa Partai
Sosialis dan memposisikannya lebih ke kiri; 26 Febr: AS meluaskan kelompoknya,
Sayap Kiri, menjadi Front Demokrasi Rakyat (FDR). Selama berbulan-bulan, FDR
berkembang sebagai kekuatan oposisi yang vokal terhadap kabinet Hatta dan
menyelenggarakan rapat umum di beberapa kota di Jawa Tengah dan Jawa Timur yang
masih dikuasai RI.

Selama berbulan-bulan ini, menurut cerita Pendeta FKN Harahap (yang dekat dengan
AS), Bung Amir selalu didampingi oleh Tan Ling Dji, tokoh komunis yang datang
dari negeri Belanda. 11 Agustus: Musso, seorang aktivis veteran Partai Komunis
Indonesia (pada awal 1930-an, yang melarikan diri dari polisi Hindia Belanda dan
bertahun-tahun bermukim di Rusia dan Eropa Timur ) tiba di Yogya. Ia langsung
mengkritik AS karena dinilai ideologinya kurang mantap. Bung Amir harus
memperdalam ideologi Marxisme/Leninisme. Musso juga mengkritik AS, kenapa
melepaskan kekuasaannya sebagai PM? Soemarsono, tokoh Pesindo, pernah bercerita
ketika saya menginap di rumahnya di Sydney, betapa Musso dalam suatu rapat
intern mengkritik AS sebagai pemimpin yang plin-plan

Menjelang akhir Agustus, AS menyatakan bahwa dia sebenarnya sudah lama menjadi
anggota PKI ilegal. Seorang pengamat politik AS yang pada waktu itu berada di
Yogya, George Mcturnan Kahin, menafsirkan sikap Bung Amir tersebut sebagai
"oportunisme politik" dalam rangka persaingannya menghadapi Musso.

1 Sept: Susunan Politbiro PKI yang direorganisir diumumkan. Musso mendominasi
Politbiro, khususnya Sekretariat Umum yang merupakan jantung partai. AS hanya
ditugaskan menangani Sekretariat Masalah Pertahanan.

Cerita seterusnya sampai meletus "Peristiwa Madiun" tanggal 19 September
kompleks. Bukan berarti peristiwa dan sub-peristiwa yang tali-temali itu tidak
bisa dipilah-pilah oleh seorang sejarawan profesional yang tekun dan obyektif.

Menurut Soemarsono dan kawan-kawannya, "Peristiwa Madiun" 19 September 1948
bukanlah sebuah kup, tapi tindakan koreksi terhadap politik kabinet Hatta yang
dianggap terlalu mengalah terhadap tuntutan Belanda dan tekanan Amerika Serikat.

Soemarsono menambahkan bahwa beberapa hari sebelumnya, ia menjumpai Musso dan
Bung Amir yang sedang kampanye di Kediri. Ia mendapat persetujuan Musso dan
Amir, "pimpinan partai yang tertinggi " , untuk melucuti kesatuan TNI karena
mengancam anak buahnya dan menduduki gedung-gedung vital.

Musso dan Amir baru tiba di Madiun padal 21 September. Mereka menyatakan
dukungannya terhadap aksi Soemarsono. Sementara itu, di Yogya segera diadakan
sidang kabinet darurat setelah pidato Soemarsono yang berapi-api. Sebelum sidang
dimulai, Presiden Sukarno menyapa Kolonel TB Simatupang, Wakil II Kepala Staf
Angkatan Perang, dalam bahasa Belanda : "Wat wil die Amir toch ?" ("Amir itu mau
apa?")

Kabinet RI memutuskan bahwa gejala "negara dalam negara" seperti terjadi di
Madiun apa pun alasannya tidak dapat ditolerir. Kemudian Presiden Sukarno pidato
berapi-api : "Pilih Musso/Amir atau Sukarno/Hatta...!"

Konfrontasi militer sudah sulit dielakkan. Setelah Madiun direbut TNI (seorang
perwira Siliwangi menulis buku yang lengkap tentang operasi itu, berjudul
Perintah Presiden Sukarno - Rebut Kembali Madiun" oleh Himawan Soetanto, Jakarta
1994), Bung Amir menjadi buronan.

Akhirnya, pada 29 November 1948 sekitar pukul 17.00 di Gua Macan, Desa
Penganten, Kecamatan Klambu (dekat Kudus), Amir Sjarifoeddin ditawan oleh Kompi
Pasopati/ Batalyon Koesmanto dipimpin oleh Kapten Ranu. Seperti kata pemeo "The
rest is history". Suatu sejarah dramatis penuh dengan saat-saat menentukan,
sehingga pertanyaan Presiden Sukarno ("Amir itu mau apa ?") menjadi jauh lebih
relevan dari yang dimaksud semula.

Pada awal 1948, Amir Sjarifoeddin sebagai tokoh pemerintahan RI menandatangani
sebuah perjanjian internasional. Menjelang akhir tahun dia ditangkap sebagai
buronan politik daerah Utara. Dan akhirnya dieksekusi di sebuah desa, di luar
kota Solo dengan menggenggam sebuah buku doa Kristen, setelah dia menyanyikan
lagu "Internationale".

Memang ada benarnya apa yang disarankan Dr Jan Aritonang dalam diskusi panel
Selasa sore itu. Yakni, mempelajari tokoh Bung Amir memerlukan pendekatan metode
psikologi. Hidupnya ditandai oleh beberapa gejala kontradiksi.

Tampaknya, bergolak hasrat kuat dalam diri Amir Sjarifoeddin untuk selalu tampil
di panggung sejarah secara heroik, kalau terpaksa bersedia manjadi martir. Dan
di situ tersimpul juga godaan ingin menikmati pujaan publik, suatu cacat
psikologis, yang telah menumbangkan sejumlah pemimpin dalam sejarah dunia.

Almarhum Pendeta Prof Johannes Verkuyl mengenal Bung Amir sejak 1941, ketika
mereka jumpa di sebuah konferensi. Ia mengagumi Bung Amir sebagai intelektual
Kristen yang brilian dan pemimpin dengan kharisma. Tapi, dia juga mendeteksi
kelemahan karakter Bung Amir.

Pernah pada 1948, ketika Bung Amir sudah berhenti sebagai perdana menteri dan
tampaknya menunjukkan gejala psikologis yang disebut post power syndrome,
Pendeta Verkuyl menasihatinya dalam sebuah pertemuan di Jakarta:

"Saudara Amir, hati-hatilah, Anda ini sekarang berdiri di dekat roda sejarah
yang berputar cepat. Setiap saat Anda dapat ikut terseret dalam jurang petaka.".

Penulis adalah peminat sejarah politik nasional.

Sumber:
http://groups.yahoo.com/group/inti-net/message/9090


Comments

Popular Posts