Tulisan dari peserta Beasiswa untuk anggota GMKI Medan 2015

Ketika Pendidikan sudah dikomersilkan

Apa yang salah dengan sistem pendidikkan kita? Sehingga untuk mencapai cita cita harus terganjal oleh hanya karna biaya kuliah yang (sangat) mahal. Sementara prestasi yang didapat terkadang tidak dihiraukan lagi,apalagi prospek perguruan tinggi sudah menuju arahkomersialisasi pendidikan. Apakah benar sistem pendidikan di Indonesia sekarang berubah menjadi sistem pendidikan komersial? Semua jenjang pendidikan termasuk perguruan tinggi sudah semakin berlomba menaikkan pembiayaan dengan bermacam dalih. Salah satunya pasti demi meningkatkan mutu pendidikan.Akirnya biaya pendidikan mahal mengancam semua orang yang berprestasi namun tidak memiliki biaya pendidikan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang pergiruan tinggi.  Ada yang bilang bahwa ketika mutu pendidikan menjadi tuntutan, mau tak mau dibutuhkan biaya pendidikan yang besar untuk memenuhi standar baku. Karena itu, tentu masyarakat sebagai pihak pengguna jasa pendidikan harus berpartisipasi ikut menanggung beban berat untuk meringankan pengelolaan pendidikan dalam memenuhi terbangunnya pendidikan berkualitas.

Diberlakukannya Uang kuliah tunggal (UKT) yang ditetapkan pemerintah untuk mengimbangi pembayaran uangkuliah dengan kemampuan ekonomi orang tua dengan mengisi formulir yang cukup pelik,dan ternyata memiliki kesenjangan yang cukup luas,karena sangat memberatkan pada pembayaran di setiap awal semesternya,apalagi bagi anak perantauan yang harus membayar uang kuliah sekaligus uang kos yang tentu sangat berat bagi orang tua.   

USU termasuk sebagai kampus yang menguji coba UKT dimana sesuai dengan perkembangan sikap kampus saat ini terhadap UKT, yang sudah menerapkan UKT pada tahun ajaran mahasiswa 2013/2014. Hal ini juga dibukti oleh pengakuan PR III USU bahwa “USU kemungkinan besar akan menerapkan sistem UKT pada mahasiswa baru nanti”. Yang cukup mengherankan,bagaimana bisa uang kuliah di PTN - USU berbeda dengan uang kuliah yang ada di UI,UNPAD,UNBRAW  dan lain lain,padahal masih sama-sama PTN,apakah penilaiannya berdasarkan universitas favorit ataukah sistem pendidikan yang berbeda disetiap universitas?,jika demikian, akan mengundang kesenjangan antara mahasiswa miskin dan mahasiswa kaya,bahkan juga antara mahasiswa di perguruan tinggi yang berbeda karena perbedaan uang kuliah yang masing-masing mereka dapatkan.

Beragam rupa permasalahan pendidikan yang kini dihadapi oleh perguruantinggi, sepertikomersialisasi dan privatisasi pendidikan tersistematis dan terkesan melembaga, diskriminasi dalam sektor pendidikan hal ini diwujudkan dengan proyek terkotak-terkotak yang dilakukanolehUniversitas. Sistem pendidikan yang sudah menjurus pada komersialisasi pendidikan dan liberalisasi menjadikan pendidikan sebagai hal yang umum untuk dinikmati oleh semua orang,melainkan pendidikan bagi mereka yang memiliki modal “siapa kaya dia pintar” . Sebuah fenomena yang unik ketika yang bersekolah hanya orang-orang  kaya saja,namun menutup kemungkinan bagi orang miskin untuk mengecap pendidikan,hanya karena tertutup faktor ekonomi “ orang mikin dilarang belajar”.

Seperti yang kita ketahui bahwa dalam penyelenggaraan pendidikan di Indonesia tidak bisa terlepas dari arah kebijakan politik dan ekonomi yang dianut suatu bangsa. Kebijakan politik & ekonomi berdasarkan kapitalisme, di dalam arah kebijakan kapitalisme terkait pendidikan, pendidikan itu ibarat seperti jasa memberikan nilai guna dan manfaat, sehingga seorang yang memiliki pengetahuan atau keterampilang dapat ditukar dengan kompensasi berupa materi. Hal yang terlihat jelas dengan adanya proses industrialisasi pendidikan dapat dipahami dengan 2 pengertian 1) pendidikan ibarat seperti Industri   yang menghasilkan profit atau keuntungan sebesar-besarnya 2) sistem pendidikan diatur dengan mekanisme sesuai koridor skenario kapitalisme untuk mempersiapkan mahasiswanya agar mampu bersaing di era yang serba industrialisasi- kapitalis. Inilah yang dapat dikatakan komersialisasi karena visi pendidikan telah di belokkan ke ajang bisnis cari untung, sedangkan yang di sebut diskriminasi karena misi pencerdasan bangsa telah di geser ke kemampuan keuangan. Padahal pendidikan sebagai hak konstitusional yang di jamin oleh konstitusi UUD 1945 dimana negara memiliki tujuan yaitu mencerdaskan kehidupan berbangsa.

Berbagai problematika masalah klasik pendidikan tidak hanya menyentuh ranah aksara mengeja, menghitung, bagaimana mengajarkan kepada rakyat melafalkan huruf dengan sempurna dan menyusun menjadi kalimat yang terdengar indah retorika kosong makna, bukan berhenti pada praktik model pendidikan seperti itu, dalam kerangka & dimanakah posisi pendidikan itu ? sering kali proses belajar hanya untuk belajar, bukan untuk apa-apa. Apakah proses belajar dimaksudkan sebagai upaya proses perubahan,? Sejatinyan nilai human capital perlu dimaknai oleh rakyat dan jauh lebih esensial, sesungguhnya pendidikan itu sebagai media alat tranformasi penyadaran, bagaimana proses dinamika sistem bekerja sehingga menelurkan sebuah kebijakan publik oleh pemerintah dan seharusnya rakyat miskin dan  anak-anak diarahkan kesana mengasah daya pemikiran kritis. Bentuk komersialisasi pendidikan telah merampas hak anak bangsa yang kurang beruntung untuk mendapatkan pendidikan dan meminggirkan mereka dari cita-cita yang merupakan human investmen dan social capital demi kepentingan bangsa. 

Padahal sekolah adalah sebuah harga mati untuk seseorang bisa menjadi manusia yang dimanusiakan.Aktivitas pendidikan di bawah aspek komersialisasi  pada akhirnya melahirkan sistem pendidikan yang sangat dipengaruhi hukum pasar, dimana posisi tawar di dunia pendidikan sangat ditentukan oleh daya beli seseorang. Dengan bahasa yang lebih sederhana, orang-orang yang memiliki banyak uang atau yang berdaya beli tinggilah yang memiliki akses lebih besar untuk menikmati pendidikan.Sementara orang-orang miskin,orang-orang terpinggirkan, dan vulnerable peopleyang sejatinya lebih membutuhkan pendidikanjustru tersingkir,dalam praktek pendidikanyang komersialistis, penyelenggara lebih mementingkan kuantitas daripada kualitas. Keberhasilan pendidikan tidak lagi diukur dari kapasitas intelektual alumni yang dihasilkan, akan tetapi dari berapa jumlah peserta didik yang dapat ditampung.Biaya kuliah dan biaya pendaftaran yang besar  menunjukkan bagaimana perguruan tinggi sudah memprioritaskan pendidikan sebagai bisnis. Bisa dilihat dan dibayangkan dari tahun ketahun biaya pendidikan di universitas negeri kian naik dan kian mahal.

Mengacu pada pendapat Peter Maclaren, beliau mengatakan, sekolah merupakan bagian dari industri, penyedia bagi kerja / buruh bagi industry,Setelah berasimilasi antara kapitalisme & pendidikan, ilmu pengetahuan menciptakan suatu konstruksi bangunan bagi ilmu pendidikan yang menekankan pada nilai-nilai material dengan mengabaikan nilai human kapital berupa nilai humanism, solidaritas antar kelas. Yang ada hanya menghasilkan wajah baru penghuni dunia kerja individualistik bertebaran seantero negeri. Pada akhirnya murid akan kehilangan sensitifitas kepekaan terhadap lingungan sosial sekitar karena digantikan oleh kalkulasi kehidupan materialisme.Hal ini lambat laun membawa suatu dampak yang luar biasa terhadap lembaga institusi pendidikan, baik sekolah dan perguruan tinggi telah terkooptasi dengan mekanisme industri dan bisnis, kita juga tidak bisa menampik awal tujuan pendidikan di sekolah untuk mewujudkan manusia baru seutuhnya, tapi tujuan pendidikan sekarang ini tergantikan dan bergeser menghasilkan produk tenaga kerja industri.

Inilahgambaran wajah pendidikan Indonesia saat ini ,sistem pendidikan ala kapitalisme, sistem pendidikan yang diadopsi dari barat, secara tidak langsung pada akhirnya akan berpotensi melahirkan produk-produk manusia yang cenderung berpikir pragmatisme. Pendidikan salah satu contoh indikator yang bisa kita saksikan hari ini adalah pergeseran makna orientasi pendidikan itu sendiri. Paradigma masyarakat yang terbangun jika berbicara tentang pendidikan mengalami kemunduran. Kita tidak bisa jauh dari landasan motivasi, pemikiran manusia terdidik semakin tereduksi dan terjebak untuk mendapatkan pekerjaan yang layak dengan orientasi penghasilan, bukan lagi berasaskan prinsip pengetahuan, kecerdasan intelektual & seiring tumbuhnya kesadaran yang muncul setiap individu.piranhapara lulusan di bidang pendidikan formal, merelakan ilmu pengetahuannnya digunakan untuk kepentingan para penindas rakyat misalnya koruptor, kita lihat disana para lulusan sarjana intelektual berlabel luar negeri enggan mengabdikan diri kepada rakyat dan seakan jijik membenamkan kaki di lumpur pedesaan guna mengamalkan ilmu pengetahuan yang selama ini dimilikinya, menjadi konsultan korporasi perampok tanah kaum tani, seakan di Indonesia sudah penuh sesak keranjang-keranjang sampah produk manusia.

Bagaimana mungkin dengan sistem seperti ini menghasilkan manusia manusia yang berkualitas dan berprestasi,jika tidak mengedepankan aspek aspek dan metode pendidikan yang baik? Sementara masyarakat masih melihat potensi Universitas negeri masih menjadi pilihan yang banyak memberikan penawaran.Jika ini berlanjut maka semakin sedikit peluang bagi orang miskin yang berprestasi untuk mengenyam pendidikan diperguruan tinggi,karna negara sudah menjadikan pendidikan semacam ladang industri, ini menunjukkan universitas sebagai lembaga yang bergengsi yang berbondong-bondong meraih prestasi dengan penyelenggaraan yang tidak menggunakan moralitas dan akal sehat. Saatnya pemerintah peduli dan tidak menutup mata dan telinga untuk persoalan pendidikan. Dengan demikian, pemerintah dalam kasus mahalnya biaya pendidikan harus mampu berfungsi sebagai filter untuk memonitor sejauh mana biaya pendidikan mahal bagi masyarakat sehingga konsep pemerataan yang dibebankan pada pemerintah bisa dijalankan secara baik. Pemerintah harus senantiasa mengoreksi, mengawasi dan mengevaluasi setiap kebijakan biaya pendidikan yang dibebankan kepada masyarakat.
Ut Omnes Unum Sint

Piki Darma C Pardede

Comments

Popular Posts